EURO 2020, Sampel Kecil, dan Tribalisme
Unai Simon merupakan kiper paling efisien di Spanyol pada tahun 2019/20.
Dia melakukan blunder yang memalukan melawan Kroasia.
Prancis merupakan tim dengan gaya permainan yang hati-hati, namun tetap mematikan, serta memiliki pemain-pemain paling efisien di Eropa.
Dua gol di menit akhir oleh Swiss mengubahnya.
Kane sangat jarang melesakkan shot on target pada 3 pertandingan pertama.
Ia mencetak gol yang mengunci keunggulan Inggris atas Jerman.
Kita, sebagai spektator atau penggemar sepak bola, yang hakikatnya adalah suatu olahraga yang merangsang emosi kita (baik maupun buruk), seringkali meyakinkan diri kita bahwa semua yang terjadi di sepak bola dapat dijelaskan oleh kejadian sebelumnya, bahwa hal ini masuk akal. Pemain ini dapat menjadi baik karena ini, karena itu, karena statistik bilang begini, karena patriotisme, dan lain-lain.
EURO 2020 merupakan tamparan atas asumsi bahwa kita mengetahui segalanya tentang sepak bola dan performa sebuah tim dan pemainnya.
Turnamen internasional biasanya memiliki format 3 pertandingan grup dan maksimal 4 babak gugur, sampai pada akhirnya para pemenang dapat ditentukan. Bandingkan dengan pertandingan liga, di mana terdapat 18–20 tim, 34–38 pertandingan, tanpa adanya risiko eliminasi yang lebih cepat.
Salah satu dari kita yang pernah belajar statistika mungkin pernah mendengar bahwa semakin kecil sebuah sampel, semakin besar jangkauan kesalahannya (margin of error). Hal yang sama terjadi di turnamen internasional, di mana sampel yang sangat kecil menyebabkan kita cukup sulit untuk menjelaskan seberapa hebatnya seorang pemain atau tim sebagai sebuah keseluruhan, jika kita menjadikan sebuah turnamen internasional sebagai satu-satunya acuan.
Jika Kane, yang merupakan salah satu striker paling tajam dan efisien di dunia, gagal mencetak gol di dua pertandingan berturut-turut di Liga Inggris, kita tidak akan mengkritiknya setajam ketika dia tidak mencetak gol di 2 pertandingan EURO 2020. Guillermo Ochoa, yang merupakan kiper biasa-biasa saja dalam level klub, tiba-tiba mendapatkan reputasi tinggi karena penamplian bagusnya dalam beberapa pertandingan di Piala Dunia.
Sepak bola, pada dasarnya, adalah permainan tentang hasil. Hal ini disebabkan salah satunya oleh identifikasi diri kita akan sebuah klub atau negara. Jika tim kita menang, kita akan merasakan emosi yang intens dan biasanya positif. Jika kalah, sebaliknya. Hal ini tersebar secara kolektif ke orang yang memiliki identifikasi yang sama dengan apa yang kita miliki, dan membentuk sebuah narasi yang dianggap sebagai kebenaran. Tribalisme adalah candu, dan sebuah kecanduan dapat memiliki implikasi baik maupun buruk. Tribalisme, emosi, dan pemikiran logis, sayangnya, jarang dapat sejalan.
Pada akhirnya, sampel yang kecil ini tidak akan kita temukan, setidaknya sampai 2 tahun sekali (kecuali jika CONMEBOL ngebet ingin menyelenggarakan Copa America yang baru lagi tahun depan). Kapan lagi kita bisa melihat tim yang hebat dan menguasai pertandingan tersingkir dengan dramatis oleh 2 gol dalam jangka waktu 9 menit? Kapan lagi kita dapat melihat pemain medioker bersinar dalam sebuah pertandingan dan menyingkirkan negara jagoan? Sampel kecil ada, untuk kita nikmati (dan menguak tidak rasionalnya kesadaran kolektif sekelompok penggermar sepak bola). Kita juga capek melihat monopoli tim bertabur bintang di liga domestik bersampel besar, bukan?