Publik juga Bisa Salah

Karena masyarakat kita adalah ahlinya tagar — serta heuristik negatif.

Irzi Ahmad R
3 min readAug 3, 2022

Entah kenapa, otakku yang pandai menemukan pola-pola kembali menemukan tajinya. Kali ini, yang berusaha ia hubungkan adalah kelalaian Kemkominfo dan permintaan dari suporter. Layaknya seseorang yang menaruh sticky notes di papan dan menghubungkannya dengan paku dan tali, impuls dari neuron yang berbentuk seperti jaring laba-laba itu saling bertabrakan dan membentuk sebuah kesimpulan besar. Untuk memulai, aku akan mencoba menjabarkan alur pikir dari otak ini.

Berdasarkan observasi singkatku mengenai reaksi publik terhadap pemblokiran yang dilakukan oleh Kemkominfo, aku menyadari bahwa frekuensi reaksi tersebut baru meningkat tajam ketika hari-H pemblokiran dilakukan. Tentu saja, frekuensi ini akan menurun secara eksponensial seiring hari berjalan.

Popularitas berita dengan kata kunci “kemkominfo” memuncak pada saat hari-h pemblokiran.

Reaksi publik ketika pemblokiran ini terjadi cukup menyorot perhatian saya. Seperti biasa, tagar protes mulai bermunculan di media sosial, dan diiringi dengan aksi simbolis seperti mengirim karangan bunga hingga rencana pelemparan air kencing pada gedung Kemkominfo. Publik memang ahlinya dalam melepaskan amarah mereka.

Kekacauan ini berakhir dengan hasil yang sangat mudah untuk diprediksi, yaitu penarikan pemblokiran. Kemenangan besar untuk publik. Atau sebaliknya, hal ini juga menguak sisi bobrok yang dimiliki oleh publik kita?

Perhatian otakku mulai berjalan ke arah suporter Indonesia, lalu mengiringi jalan penuh duri hingga berujung pada permasalahan yang sering dibahas oleh mereka. Pemecatan pelatih, minta TC, minta pindah ke EAFF karena kalah head-to-head, protes kualitas siaran televisi, atau minta perbaikan stadion.

Seperti biasa, pembicaraan ini selalu hangat ketika masalah tersebut baru terjadi. Amarah yang dilampiaskan juga bisa diprediksi: membuat tagar, memberikan solusi setengah jadi, dan menganggap PSSI sudah tamat sehingga mereka melakukan pergerakan #(masukkan stakeholder sepak bola yang viral)out. Ketika amarah itu mati, pembicaraan itu hilang hingga akhirnya terlihat sumber amarah baru.

Otak manusia memang lebih sering terpengaruh oleh informasi negatif. Tidak banyak yang tahu kalau PSSI sudah membuat salah satu medical center terbaik di Asia Tenggara, atau sudah membuat filosofi sepak bola nasional sejak tahun 2016. Yang sering terlihat, sebaliknya, adalah keluhan “the good old PSSI” ketika berita negatif terjadi.

Mengesampingkan berita positif adalah dosa yang sama dengan membiarkan berita negatif. Perilaku instinktif publik yang sering kali berujung pada sinisme membuat mereka dapat abai melihat masalah secara menyeluruh. Kelalaian dalam melihat masalah secara sebagian saja dapat membuat intervensi masalah tidak maksimal.

Aku pernah mengobrol pada seseorang dan ia bilang bahwa kebiasaan buruk masyarakat kita adalah mau enaknya saja. Mau enaknya saja dalam arti secara buta mengikuti insting emosional mereka. Alhasil, dalam arti lain, publik menjadi budak emosi mereka sendiri.

Carl Rogers, dalam bukunya yang berjudul On Becoming a Person, berpendapat bahwa hakikat alamiah dari kehidupan manusia, setelah mengakui emosi yang ia rasakan (secara bertahap), adalah rangkaian proses yang bergerak menuju tujuan — yang agak kabur — dan diarahkan oleh nilai dari individu tersebut. Proses terbaik adalah perjalanan yang berkelok-kelok, kabur, namun selalu maju dan bebas dari siklus setan.

Tulisan ini merupakan sedikit pandanganku bahwa publik, bukan hanya pemerintah, menyimpan aib yang jika tidak ditanggulangi akan terus menjalankan siklus masalah-protes-abaikan, yaitu mudah sekali diperbudak oleh emosi. Namun jujur, aku belum mengetahui obatnya.

Mungkin yang perlu kita lakukan adalah mengakui bahwa kita belum punya solusinya. Yang bisa kita lakukan adalah perlahan mengenali emosi dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan nilai hidup kita. Dengan itu, kita tidak akan diperbudak oleh emosi kita sendiri, memahami realitas yang terjadi, dan bergerak menuju pencarian solusi yang lebih konkrit.

--

--

No responses yet