persetan dengan budaya
But that’s the culture, crack a bottle
Hard to deal with the pain when you’re sober
By tomorrow, we forget the remains, we start over
That’s the problem
Our foundation was trained to accept whatever follows
Ketertarikan saya terhadap hip-hop sebenarnya pasang-surut, dengan lebih banyak surutnya. Untuk sekarang, saya hanya kadang-kadang mendengar album Ramona Park Broke my Heart-nya Vince Staples (bahkan tidak sampai habis). Kadang saya juga masih mendengar To Pimp a Butterfly, album Kendrick Lamar, terutama lagu These Walls karena iramanya, dan Mortal Man karena pesannya mengenai konflik antara kerendahan hati dan ambisi dalam membebaskan suatu komunitas yang terkekang (I don’t know, i’m no mortal man, maybe i’m just another n*gga).
Lalu, datanglah lagu “pemanasan” untuk album terbarunya setelah 5 tahun hiatus, The Heart Part 5. Kalau mau jujur, ini satu-satunya part dari The Heart yang pernah saya dengarkan. Namun, persetan dengan hal itu. Saya akan tetap mendengarkannya karena irama, dan sedikit tentang pesannya. Kendrick “menjelma” menjadi 5 tokoh (saya lupa ada berapa, maaf) kulit hitam yang mempunyai cerita mereka tersendiri (saya jadi ingat kalimat pertama di video klipnya, I Am. All of Us.), melalui teknologi deepfake. Cerita dari para tokoh ini sama-sama bermuara dari “budaya” yang Kendrick anggap merupakan sebuah siklus setan. Para tokoh yang terlihat keluar dari kejamnya dunia hood terlihat masih dipengaruhi oleh “budaya” ini, baik Kanye, O.J, Nipsey, dan lain-lain, dengan cerita mereka tersendiri.
Eksplorasi Kendrick terhadap latar belakang kehidupannya melalui medium para tokoh ini membuat saya sedikit memahami makna dari “I am. All of us.” Kendrick tidak hanya berusaha untuk menjelma menjadi orang lain, melainkan menjadi satu dengan mereka, satu kesatuan yang dilambangkan dengan kata “us.” Konstruksi dari kata us ini sangat mungkin berasal dari perasaan senasib sepinanggungan Kendrick dengan komunitasnya, yang berkali-kali harus mengalami kejadian traumatik yang diwariskan secara turun-temurun.
Saya, yang kadang menginterpretasikan us sebagai orang-orang yang dipengaruhi oleh cara pemikiran Minangkabau, sangat mengerti dengan perasaan itu. Mungkin hal ini yang dapat membuat saya menjelma — secara tidak sempurna — menjadi kakek saya, dengan cara pemikirannya yang sangat runtut dan logis, atau para pemikir Minangkabau lainnya yang berusaha untuk menemukan persetujuan antara dua pemikiran yang terlihat bertentangan. Tetapi, saya juga mewarisi neurotikisme dari beberapa individu Minangkabau, para pesilat lidah yang tidak mampu mengerti emosinya, sehingga isi otak mereka hanyalah lidah-lidah yang bersilat dengan badannya sendiri, terluka dan tak bertumbuh.
Perasaan senasib sepinanggungan ini kadang menyebabkan orang-orang yang mengira dirinya sudah keluar dari nestapa ingin menyelamatkan komunitasnya dari jurang yang sama. Akan tetapi, hal ini bisa saja malah menyebabkan komunitas dan penyelamat tersebut semakin terkekang. Kendrick menjelaskan pada Mortal Man, bahwa permasalahannya pada masa kecil — yang disebabkan oleh “budaya” tersebut — membuatnya merasa tidak seperti Mandela. Ia juga masih merasa bahwa dirinya masih menyalahgunakan pengaruhnya, dengan perasaan penuh dendam. Perasaan layaknya impostor syndrome ini membuat dirinya meraung-raung di kamar hotel dengan botol minuman keras. Pada akhirnya, Kendrick menemukan jawabannya. Ia tidak turun dan memerintahkan mereka untuk melakukan hal ini-itu, melainkan ingin agar komunitasnya saling menghargai satu sama lain. Meskipun fenomena seperti kekerasan antar geng membuat komunitas tersebut seperti terpecah-belah, mereka sebenarnya merupakan kumpulan korban senasib dari suatu rangkaian bencana yang lebih besar.
Saya terkadang merasakan hal ini, bukan hanya sebagai orang Minangkabau, tapi juga sebagai pengidap gangguan kejiwaan. Perasaan untuk dapat membebaskan teman-temanku yang terjebak pada lubang yang sama bergejolak di hatiku. Namun, seringkali saya menyalahgunakan gangguan jiwa ini untuk dapat lari dari kenyataan. Berbaring di tempat tidur, saya membentuk posisi fetal karena berkali-kali mempertanyakan langkah-langkah yang sudah saya lakukan. Berusaha ingin menjadi nabi, padahal satu wahyu pun tidak ada yang bisa disampaikan. Kadang saya merasa sangat malu ketika melihat tapak kaki penuh darah saya di pasir pantai yang nampaknya tidak pernah terhapus oleh ombak. Entahlah, aku berusaha bergerak, menangis, mengeluarkan beban pikiran ini di kepalaku. Dan tiba-tiba….
Muncul dalam benak bahwa mungkin masalahnya adalah saya terlalu berusaha untuk mengeluarkan, dan kurang pada aspek menerima. Tangisan penuh putus asa itu saya coba naik tingkatkan menjadi tangisan untuk menerima semua aspek yang stimulus itu berikan pada otakku. Saya terus maju seperti tempo yang Malaka bilang pada buku Madilog itu. Perubahan konstan. Bertemu, memaafkan, tertawa, menangis, takut, fokus, dan lain-lain. Menerima membuat saya mendapatkan gambaran besar dari diri ini, dan seperti “I am. All of Us,” saya merasakan keseluruhan itu. Emosi yang direpresi. Keinginan bunuh diri. Keberanian dan rasa pengecut. Air mata ketika aku mengidealisasikan posisi teman putih cantik itu yang hatinya sama hancur denganku. Tidak ada perasaan ingin mengajar lagi. Aku sudah menjadi mereka, mungkin karena aku menerima insting manusiawi diriku. Pada akhirnya, seluruh orang yang aku kira berbeda ternyata memiliki satu kesamaan, yang sebenarnya sampai sekarang aku masih bingung menjelaskannya bagaimana.
Maka, sudahlah sampai situ saja aku berusaha untuk mengeluarkan isi hati yang terkadang memang sulit sekali untuk dikeluarkan. Aku kemudian melihat persepakbolaan di negeriku, Indonesia. Suporter, pemain, manajer, federasi, dan lain-lain. Mereka semua ingin agar sepak bola di negeri ini maju. Semua ingin menjadi penyelamat dengan cara mereka tersendiri. Akan tetapi, cara mereka dalam menyelamatkan persepakbolaan di negeri ini masih dipengaruhi oleh “budaya.” Kejadian traumatik di masa lalu (kalah di final kejuaraan internasional, kekerasan antarsuporter, dualisme PSSI, dan lain-lain) membuat usaha kita dalam melakukan perubahan ini selalu tersendat-sendat, karena layaknya seseorang yang berusaha memendam luka batinnya dengan minuman keras, kita masih menggunakan kata-kata seperti “rombak lagi” setiap Timnas kalah dari kejuaraan internasional. Perombakan ini layaknya candu yang membuat kita merasa seakan-akan semua baik-baik saja, dan kita akan menerima perasaan ini dengan bulat-bulat, hingga di masa depan kita akan semakin menghancurkan diri kita sendiri ketika Timnas kalah lagi di kejuaraan internasional. That’s the problem. Our foundation was trained to accept whatever follows.
Mungkin suatu hari aku akan melakukan deepfake mengenai Shin Tae-Yong dan perubahan taktik mendadaknya. Atau Iwan Bule yang memaksa pemainnya yang bermain di luar negeri untuk bermain di kejuaraan non-matchday FIFA. Atau Rio Fahmi yang pemosisiannya sering salah. Atau pengurus salah satu klub di Liga 1 yang strategi rekrutmennya amburadul. Atau salah satu pandit yang menyatakan bahwa Indonesia kalah karena kurang taktik, kurang mental, atau prosesnya tidak benar. Mereka adalah salah satu dari banyak korban dari “budaya” ini. Pada akhirnya, agar kita dapat mengalahkan “budaya” ini dan maju, kita harus menerima bahwa insting pertama manusia ketika mengalami kejadian traumatik adalah dengan memendam kejadian tersebut dalam-dalam di hati. Jika kejadian itu naik lagi ke permukaan, insting selanjutnya adalah memendamnya dengan hal yang akan memberikan kita kebahagiaan sesaat. Selanjutnya, kita akan merasa sedih lagi dan kembali pada hal itu. Kita terjebak dalam siklus setan itu. Untuk dapat maju, persepakbolaan Indonesia harus dapat menerima, meraung, dan mengekspresikan perasaan sakit itu, serta terus maju dengan segenap perasaan murni di hati hingga aspek-aspek bermanfaat yang terpendam oleh kesedihan itu dapat muncul dan bersinar kembali. Dengan ini, seluruh komponen dari persepakbolaan Indonesia akan dapat melihat satu sama lain dengan lebih jelas, dan bergerak menuju satu tujuan yang sama, yaitu kebaikan.