Merantau dalam Dunia yang Semakin Terhubung

Irzi Ahmad R
4 min readNov 28, 2021

--

Potret masyarakat Minangkabau pada abad ke-20 (Troppenmuseum/Wikipedia Commons)

Pada tahun 1950an, kakekku, seorang pemuda sulung dari keluarga yang kuat dalam ilmu agama, pergi dari kampungnya yang terletak di kaki gunung Marapi, menuju ke Jakarta untuk belajar ilmu kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia akan terus berpetualang ke berbagai negara – setidaknya hingga tahun 2005 di Meksiko – dan mendapatkan berbagai macam pengalaman, seperti bertugas di Operasi Seroja, diancam penusukan oleh pasiennya, dan bertugas selama 3 tahun di Irian Jaya (dahulu, sekarang, dan selamanya akan bernama Papua), dimana ia menyelamatkan anaknya yang hampir tenggelam di Samudra Pasifik. Dari pengalaman yang segudang itu, ia masih tetap rutin melihat ibunya hingga sekarang, dan tetap setia memakan nasi padang yang seringkali ia biarkan berceceran di meja makan keluarga.

Kakek adalah salah satu residu dari para reformis Minangkabau. Minangkabau sering melahirkan pemikir-pemikir hebat di Indonesia, terutama pada rentang waktu 1900an awal. Hal ini bisa ditarik dari aliran-aliran pembelajaran yang sangat beragam di berbagai daerah di Sumatra Barat, dan juga oleh naluri alamiah pemudanya untuk mencari ilmu, belajar dari alam. Pemuda-pemuda dari Minang pada masa itu sering berdiskusi tentang berbagai macam hal, dan mereka tidak pernah puas akan jawaban dari orang-orang lainnya. Kalau kata Kakek, mau tetua mau siapapun kalau tidak sesuai logika akan ditantang. Maka, keislaman di Minangkabau sendiri mempunyai warnanya tersendiri. Ada yang lebih dekat ke syariat Islam murni seperti Agus Salim dan Haji Rasul, ada yang mencampurkannya dengan ilmu-ilmu lain yang didapatkan dari Barat seperti Hamka, Tan Malaka, atau Syahrir. Ada yang pragmatis dan lebih dekat ke Pancasila, seperti Hatta, dan Yamin. Ada juga yang berkecimpung di dunia seni; Asrul Sani, dengan filmnya yang menjelaskan tentang moralitas yang biasanya diajarkan oleh keluarga kita; Usmar Ismail, yang bereksperimen dengan gaya Hollywood; dan Taufik Ismail, yang memiliki hubungan cinta-benci dengan negeri yang ia tinggali.

Orang Minangkabau biasa melepaskan dirinya dari kampung halaman untuk mencari ilmu, pengalaman, kebanggaan, dan uang. Mereka biasa menyebutnya dengan merantau. Pantang pulang sebelum mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan akhirnya pengalaman tersebut akan menjadi hal yang mereka banggakan di dunia tua – dan biasanya dilebih-lebihkan sedikit. Perjalanan ini sering menghasilkan pengalaman dan pandangan hidup yang sangat beragam. Terbesit pertanyaan lagi.

Jika pada masa ini dimana informasi serba ada dan secara mudah didapatkan, apakah budaya merantau akan secara perlahan mengalami kematian?

Kita kembali lagi pada naluri alamiah orang Minangkabau. Mereka belajar dari alam. Mereka berusaha untuk membentuk kepuasan jiwa, dan disisi lain tidak pernah puas dalam mencari ilmu pengetahuan di dunia. Aksesibilitas ilmu dapat menjadi pisau bermata dua bagi manusia di masa kini. Pada zaman dahulu, seseorang yang berada di perpustakaan harus memilih buku di berbagai macam rak-rak yang ada di sana, memilih disiplin ilmu yang tepat guna untuk tujuannya. Sekarang informasi sudah ada secara cepat, dan – terkadang – gratis. Informasi yang ada di depan mata dan tren yang semakin cepat menyebar membuat kita menjadi lebih berpengetahuan; namun, apakah kita menjadi lebih paham? Terkadang banyaknya informasi ini dapat mengaburkan kompas keilmuan dan kepribadian kita. Kita tidak tahu ingin ke arah mana, jadi kita melihat pendapat yang paling sering muncul dan sedang viral. Mungkin sebagian dari diri kita pernah masuk ke jurang ini – dan sebenarnya aku juga pernah. Permasalahan ilmu, di dunia yang sempit maupun dunia yang terbuka, tetaplah sama. Sebagian dari kita belum dapat membuka diri kita terhadap ilmu-ilmu di luar ruang lingkup kita. Secara digital, kita terhubung, namun secara jiwa dan pikiran, kita belum dapat merantau.

Demi keberlangsungan ilmu dan kemajuan segala organisme di alam semesta ini, ada kalanya kita dapat merantau secara pikiran dan jiwa. Untuk mahasiswa psikologi, belajarlah tentang cabang ilmu lain. Matematika akan membuatmu lebih terasah dalam berlogika; geografi akan membuatmu lebih paham tentang tata letak bumi dan tendensi manusia dalam memanfaatkan lingkungannya; fisika akan membuatmu mengerti tentang ilmu paling dasar yang secara tidak sadar kita manfaatkan di kehidupan kita; dan lain-lain. Bicaralah juga dengan orang-orang di luar lingkungan yang kamu biasa tinggal, dan kalau merasa kesulitan, bacalah buku serta bila mungkin bayangkan dirimu berada di dunia yang buku itu gambarkan. Belajarlah dari apapun yang ada di alam semesta ini. Untuk jiwa, merantaulah ke dunia agama atau spiritual; bacalah kitab dari agamamu, atau jika kamu tidak terlalu religius, ambil bagian baiknya dan sisihkan yang buruk. Pembelajaran dari orang lain juga sama pentingnya, karena perspektif hidup seseorang dapat berpengaruh juga terhadap pembangunan kompetensi diri kita, serta pemahaman tentang jiwa kita sebagai suatu spesies yang berbeda, namun memiliki berbagai macam kesamaan.

Dan satu hal yang sama pentingnya tentang merantau, jangan pernah lupa akan identitas dirimu. Apa yang melekat di dirimu, baik secara genetik, pengalaman baik dan buruk, pengaruh orang lain, lingkungan sekitarmu telah membentukmu menjadi dirimu sekarang ini. Berbohong tentang apa yang kita alami di hidup ini akan membuat diri kita menjadi lebih sengsara, salah satunya karena kita menjadi tidak tahu apa yang membuat kita menjadi kuat dan lemah. Kedekatan terhadap sempurna dari jiwa seorang rantau adalah jiwa yang terbuka dengan cakrawala dunia sekaligus teguh dan sadar akan batasan yang dirinya miliki. Kita adalah makhluk yang simultan; hidup di keadaan sekarang, menatap ke depan, berbekal masa lalu.

Ketidakpastian adalah bagian integral dari hidup kita yang sementara ini. Hal itu yang menyebabkan kita berkembang menjadi individu yang jauh lebih baik lagi. Kita diberi panduan – yang baik maupun buruk – untuk menghadapi rintangan yang diberikan oleh dunia. Hakikat diri kita sebagai manusia, yang mau tidak mau pasti mendapatkan ilmu di dunia, adalah mengolah dan menggunakannya untuk diri kita sendiri, orang lain, organisme lain, dan pada akhirnya, alam semesta tempat kita tinggal ini.

--

--

No responses yet