Menyusu Pada Federasi

Amarah, dendam, dan kurangnya agensi di kalangan masyarakat adalah cerminan status quo sepak bola Indonesia.

Irzi Ahmad R
3 min readAug 7, 2022

Pada saat aku pulang dari stadion Gelora Sriwijaya aku melihat sekumpulan suporter berteriak dengan lantang; teriakannya adalah nyanyian amarah mengenai PSSI. Pemandangan yang menarik mengingat terakhir kali aku pergi ke stadion adalah pada saat kelas 5 SD (kangen Kayamba dkk., sumpah).

Sepuluh (!!) tahun lamanya rentang waktu, dan dendam masyarakat terhadap PSSI semakin meningkat. Aku pun sangat marah ketika melihat ego dari Djohar Arifin dan La Nyalla Matalitti saling beradu, menganggap diri mereka sebagai pahlawan “penyelamat” sepak bola Indonesia. Kemudian, kepemimpinan PSSI yang secara tradisi didominasi dengan jenderal dan penguasa politik kelas atas juga membuatku kebingungan — apa hubungannya mereka dengan urusan dua puluh dua orang yang saling berebutan bola?

Wajar sekali apabila semua hal ini menyebabkan peristiwa traumatik terhadap kesadaran kolektif masyarakat Indonesia. Bertahun-tahun disakiti — dan menyakiti diri sendiri berkat nafsu tribalistik sepak bola yang tidak bisa dikendalikan— melalui peristiwa kekerasan antarsuporter, putus sambung liga, rangkap jabatan, dan keanehan lainnya membuat masyarakat membentuk sikap sinisme yang cukup kuat pada persepakbolaan Indonesia.

Lantas, PSSI adalah samsak yang tepat bagi para masyarakat untuk melampiaskan amarahnya. Toh, mereka ada di posisi atas, yang membuat keputusan. Dipukul-pukullah PSSI itu, oleh para media, suporter, dan spektator. Semua keputusan yang diterapkan oleh PSSI nampaknya terlihat sangat buruk — tentu saja ada andil media di sini — dan masyarakat langsung mengeluarkan senjata Swiss Army mereka (spam tagar dan kolom komentar, anggapan bahwa persepakbolaan Indonesia sudah kiamat, minta hal-hal yang akan “membantu” sepak bola Indonesia seperti TC). Kita mengawal mereka sampai kita lupa (biasanya 2 hari) dan berita buruk lain tentang PSSI keluar.

Aku pun melihat ini seperti samsak tinju yang biasa kupukul ketika bermain di Timezone. Sekeras apapun, entah kenapa dia selalu balik lagi, tegak, menunggu untuk dipukul. Poin sudah menunjukkan angka 100 (layaknya komentar yang sudah 24 ribu). Tapi ia tetap balik lagi, balik lagi, dan balik lagi, tanpa pernah ayunannya terbang ke angkasa dalam rentang waktu yang infinit.

Berita buruk PSSI → kita marah → kita bergerak →masalah terlihat diselesaikan→ ulang lagi dari awal dengan dendam yang semakin membusuk. Entah kenapa, siklus ini terlihat seperti demo/masalah yang trending di medsos tapi ya sudahlah. Kita dendam, benci pada mereka, tapi entah kenapa kita selalu berharap (!!) bahwa masalah tersebut akan diselesaikan oleh mereka dan/atau pihak lain.

Mereka dan/atau pihak lain. Tapi rasanya tidak pernah diri sendiri. Aku mencium kurangnya agensi pada diri sendiri. Masih ingin menyusu, masih ingin masalah diselesaikan oleh mereka. Tanpa memberi waktu sejenak untuk memahami apa yang sebenarnya dipermasalahkan (kebanyakan dari kita tidak tahu manfaat TC itu apa hingga hari-H masalah trending!!). Sering top-down, dan hampir tidak pernah bottom-up. Kita berlagak kritis dengan screenshot berita media meskipun dalam lubuk hati terdalam kita tahu bahwa media memanfaatkan amarah masyarakat sebagai penggerak roda mereka. Mungkin karena kita sedang dalam proses untuk berpikir secara mandiri lagi — ya 32 tahun di mana hal-hal yang biasanya melibatkan masyarakat untuk berpikir dikerjakan oleh pemerintah pusat, namun ya sudahlah.

Tapi, memang inilah proses healing ekosistem sepak bola Indonesia. Layaknya psikolog klinis yang mengidentifikasi siklus setan dalam menghadapi masalah, masyarakat juga bisa saling mengarahkan dirinya untuk mengidentifikasi siklus kekurangan agensi dan menyalahkan ini. Ada rasa sakit traumatis yang harus dirasakan, dan memang itulah proses yang harus dijalani. Aku yakin kita bisa mendewasakan diri kita, meskipun jujur mulai dari mananya aku juga tidak tahu.

--

--

No responses yet