Melepaskan Diri dari Kerangkeng Spesialisasi
Psikologi telah berkembang dari ilmu filsafat menjadi ilmu saintifik — yang tidak sempurna — yang berusaha untuk mengukur perilaku manusia dengan berbagai macam metode yang dirancang sedemikian rupa. Pencarian tentang jawaban dari segala macam perilaku manusia telah melalui proses yang sangat panjang dan membingungkan. Descartes dengan krusialnya kelenjar pineal pada dualisme badan dan pikiran (karena asimetris), Freud dengan dorongan biologis yang berujung pada perkembangan psikoseksual, Skinner dengan behaviorisme radikal dan kehendaknya untuk membuat psikologi sebagai ilmu yang harus diukur mengikuti aturan saintifik, Chomsky dengan perumpamaan proses otak sebagai komputer, hingga Richard Dawkins dengan penekanannya terhadap gen dan evolusi. Ilmu psikologi yang pada dasarnya dikembangkan oleh peradaban Barat — dengan humanistik yang sedikit mencontek dari Timur — semakin mendekatkan diri kita dengan jawaban absolut, teori segalanya dari perilaku manusia.
Apa yang mendasari perilaku manusia?
Sayangnya, teori-teori yang ada, terutama yang diajarkan dalam kurikulum perkuliahan, hanya dapat menjawab sedikit dari pertanyaan tersebut. Terkadang perspektif yang diberikan hanya dapat menjawab sedikit dari fenomena-fenomena dan pola perilaku yang manusia lakukan, baik individu maupun kolektif. Penggunaanya juga terkadang tidak tepat dalam menjelaskan variabilitas perilaku yang dilakukan oleh manusia dalam konteks yang berbeda-beda. Ini adalah konsekuensi dari disiplin ilmu yang harus mencari variabel sebanyak mungkin dan mengaitkannya hingga kita dapat suatu kesimpulan yang runtut. Sepertinya utopia dari psikologi adalah: Menemukan kesimpulan sederhana dari kompleksitas perilaku manusia. Kesimpulan ini nantinya akan menjadi tolak ukur yang dapat menjadi panduan bagi umat manusia untuk memperbaiki, memahami, dan memajukan peradaban makhluk hidup dari level individu — bahkan subatomik — hingga ke seluruh organisme yang ada di muka bumi ini.
Kebangkitan Polimatik?
Jika kita melihat profil para cendekiawan pada Abad Pertengahan, kita akan melihat ketertarikan mereka terhadap berbagai macam disiplin ilmu. Al-Khawarizmi bergerak di bidang matematika, astronomi, dan geografi. Da Vinci merupakan seorang pelukis, ilmuan, teoretikus, pemahat, insinyur, dan arsitek. Descartes adalah seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuan. Lalu juga ada Newton yang menciptakan dan ikut menyempurnakan kalkulus, teori fisika, dan ilmu-ilmu lainnya. Ibnu Sina, Ibnu Rusd, Gallileo, Hooke, dan cendekiawan lainnya. Mereka semua menguasai lebih dari dua bidang ilmu, sebuah pencapaian yang membuat mereka dinobatkan dengan sebutan polimatik, yang diambil dari bahasa Yunani, poly (banyak) dan manthanein (belajar). Seiring waktu, terutama setelah Revolusi Industri, jumlah polimatik semakin berkurang. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam disiplin ilmu yang semakin mengalami spesialisasi. Spesialisasi telah membawa rumpun ilmu pengetahuan menjadi lebih terukur dan akurat. Beberapa juga mempunyai cabang-cabang dalam disiplin ilmu, yang masing-masing dapat memberikan perspektif baru pada disiplin tersebut. Psikologi, sebagai salah satu disiplin ilmu, memiliki cabang-cabang yang terspesialisasi seperti kognitif, psikodinamik, perkembangan, atau klinis. Keunikan dari psikologi, terutama karena membahas tentang tingkah laku manusia, seringkali mengalami tarik-ulur antara pembahasan filosofis dan saintifik. Represi ingatan masih menjadi perdebatan. Penggunaan metode terapi yang tepat masih menjadi perdebatan. Penamaan gangguan kejiwaan juga terkadang tumpang tindih dan belum menjelaskan tentang gejala-gejala yang dialami oleh pengidapnya secara tepat. Spesialisasi dari berbagai macam bidang dapat membuat para spesialis di dalamnya kesulitan dalam melihat perspektif bidang lainnya, dan usaha untuk melakukan integrasi dengan cabang ilmu lain menjadi lebih besar serta sulit.
Polimatik nampaknya lebih dibutuhkan pada masa kini. Seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai macam disiplin ilmu, sehingga mempunyai pandangan yang lebih luas dalam memecahkan permasalahan di alam semesta ini. Tentunya, cabang ilmu telah semakin terspesialisasi sehingga meraih keahlian di suatu bidang akan memakan waktu yang jauh lebih lama. Maka, keseimbangan antara spesialisasi dan polimatik perlu dicapai. Untuk mendekati tujuan ini, kerendahan hati dibutuhkan oleh para akademisi. Sering terlihat akademisi yang tidak terbuka pada ide baru dan mati-matian membela teorinya. Pembelaan teori dan keterbukaan terhadap kesalahan serta hal baru sangat penting untuk meningkatkan integritas ilmu pengetahuan, yang sekiranya adalah karya dari makhluk hidup untuk mengurangi ketidakpastian terhadap interaksi-interaksi yang ada di alam semesta ini. Kita bisa menemukan ilmu pengetahuan di mana saja, karena alam semesta terdiri dari berbagai macam interaksi antar benda-benda. Maka, perbedaan pandangan kita dapat menjadikan kita sebagai individu yang kolektif, jika kita bersedia untuk merendahkan hati kita untuk meraih ilmu pengetahuan tanpa menjatuhkan integritas dari diri kita sendiri, individu yang mampu untuk berpikir kritis dan tidak mudah untuk cepat-cepat berpegang kepada suatu kepastian.
Penutup
Semakin hari, kita semakin sadar bahwa mencari kepastian dari hal-hal yang terjadi di alam semesta ini adalah suatu perjalanan yang hampir atau bahkan mustahil. Mengurangi ketidakpastian, sedikit demi sedikit, adalah keniscayaan ilmu pengetahuan. Psikologi akan semakin dekat menuju kebenaran jika kita secara teguh, cermat, dan berani untuk mencari lebih dalam tentang variabel-variabel yang jarang atau belum pernah kita temui. Perjuangan ini akan berjalan terus-menerus, seperti peradaban yang akan terus berjalan, berputar, berkembang, dan tidak pasti.