Logika mistika dan analisis statistik pemain

Jika tidak hati-hati, kehebatan seorang pemain dapat menjadi sebuah takhayul.

Irzi Ahmad R
7 min readMay 11, 2022

Tak ada yang ajaib. Yang ajaib itu besok akan diketahui — Tan Malaka

Prolog: Ketika orang berdarah Minangkabau yang tidak pernah membaca filsafat menjelaskan tentang filsafat

Jujur, seperti banyak orang, saya kebingungan ketika membaca Madilog. Isinya memuat banyak teori yang dapat membuat orang awam seperti saya mudeng. Mungkin, saya yang harus lebih rajin dalam belajar di kuliah agar saya dapat setidaknya fokus untuk membaca buku-buku seperti itu. Dasar pemalas. Akan tetapi, mungkin saya dapat sedikit membaca pola pikir Tan Malaka, karena saya besar di keluarga berdarah Minangkabau.

Orang-orang Minangkabau, ujar kakek saya (yang 44 tahun lebih muda dari Malaka), besar di surau. Mereka bukan hanya dilatih untuk menuntut ilmu, melainkan juga berdiskusi dengan ulama di sana. Jadi, sejak kecil mereka sudah terbiasa untuk menerima berbagai macam sumber ilmu dengan segala tetek bengeknya. Layaknya keping puzzle yang pas, kebiasaan ini membuat mereka menjadi perantau yang sangat handal, mampu untuk menyesuaikan dirinya terhadap berbagai macam budaya dan kebiasaan baru.

Tentu saja, kelebihan ini dibarengi dengan beberapa konsekuensi. Saya pernah membaca — lupa bukunya, seingat saya di Perpusnas lantai paling atas di rak Sumatera Barat — mengenai terdapatnya frekuensi pasien berdarah Minangkabau yang cukup tinggi di salah satu klinik psikiatri di Jakarta. Alasannya diduga karena penduduk berdarah Minangkabau merantau secara prematur, dan/atau tidak dapat beradaptasi di daerah rantauannya. Entah kenapa, saya yang berdarah Minangkabau juga didiagnosis mengidap gangguan jiwa, namun sekarang sudah jauh lebih baik dalam mengendalikannya.

Kelebihan dan kelemahan dari penduduk Minangkabau saling berpadu ketika masa penjajahan. Minangkabau tidak termasuk pemasok tentara-tentara tangguh dalam melawan penjajah, namun mereka mampu menutupi kelemahan mereka dengan kehebatan mereka dalam bersilat lidah. Contohnya bisa kita dapati dari Mohammad Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, dan yang akan saya ulik pada saat ini, Tan Malaka.

Saya orangnya tidak sabaran, sehingga saya akan melompati bagian dari riwayat hidup Malaka. Oleh karena itu, saya yang sangat awam ini akan mencoba untuk membahas sedikit tentang pola pikir Malaka di Madilog. Mari kita mulai — semoga saya tidak mempermalukan diri saya di bagian ini.

Malaka membahas tentang bagaimana penduduk Indonesia, sepanjang sejarahnya dari masa prasejarah (aminisme), menganut logika mistika. Logika mistika adalah tentang bagaimana penduduk Indonesia terbiasa mengaitkan segala hal yang terjadi dari alam semesta ini dengan suatu hal absolut, seperti takhayul, makhluk gaib, atau kekuatan yang lebih tinggi. Malaka menganggap bahwa bangsa Indonesia akan terus terjajah apabila mereka terus menganut logika mistika. Ia mengambil contoh pada bangsa Eropa, yang mampu untuk menjadi maju dalam berbagai macam aspek, karena mampu lepas dari logika mistika.

Saya cukup tertarik ketika melihat Malaka menggunakan berbagai macam rumus-rumus dari ilmu eksak seperti fisika, matematika, serta biologi untuk menjelaskan tentang benda dan energinya, yang akan menjadi sesuatu yang penting ketika ia melanjutkan penjelasannya mengenai diakletika materialisme. Seketika, saya langsung mengingat apa yang sering kakek saya beri tahu mengenai ilmu pengetahuan, bahwa alam semesta terdiri atas untaian benda, dan tugas kita sebagai umat manusia adalah mencari tahu serta mengubah untaian benda ini menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.

Apa yang kakek saya katakan tersebut terlihat ketika Malaka menjelaskan tentang molekul-molekul untuk menjelaskan tentang hukum negasi dari negasi. Atom positif dan negatif bertumbuk menjadi suatu molekul. Semakin besar energinya, semakin besar tumbukannya. Interpretasi saya mengenai hal ini — serta dibantu oleh utas yang luar biasa ini — adalah tentang bagaimana pertentangan antar sifat-sifat atom dapat menciptakan sebuah molekul baru dapat dijadikan sebagai hukum untuk membangun argumen dengan lebih baik.

Pertama, menurut Malaka, segala hal yang terjadi di alam semesta (fenomena) ini dapat diuntai hingga bentuk akhir (di mana benda tersebut tidak dapat dibagi lagi). Bentuk akhir ini, sebaliknya, akan bergabung dengan bentuk akhir lainnya, dan menjadi bentuk baru yang lebih kokoh, dengan sifat bentuk tersebut yang berubah. Begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Fenomena tersebut kita rasakan secara indrawi, baik dalam pengalaman maupun pengamatan. Anggap saja fenomena tersebut merupakan untaian molekul yang terdiri atas bermacam hal. Hal terakhir ini akan saya sebut sebagai premis, suatu hal yang mendasari sebuah fenomena.

Seperti rangkaian terbentuknya atom menjadi molekul, premis tersebut akan mengalami proses-proses. Proses pertama adalah menentukan validitas dari premis ini, dengan menggunakan hukum logika. Jika sudah melewati hukum logika dengan sukses, premis ini akan layak dijadikan sebagai kesimpulan. Kesimpulan ini akan menjadi tesis, dan dari tesis kita akan menemukan antitesis, lawan dari tesis tersebut. Kedua argumen tersebut akan bertumbuk dan menjadi sesuatu yang menjadi lebih baik (quantity to quality). Tumbukan ini disebut sebagai diakletika materialisme. Setelah tumbukan ini, kedua argumen tersebut akan membentuk premis baru yang lebih kuat — terutama jika kedua argumen tersebut mempunyai kekuatan (energi) yang tinggi, layaknya molekul yang dihasilkan oleh tumbukan kedua atom. Proses ini akan terjadi berulang-ulang kali dan tidak akan pernah berhenti.

Sekarang, kita kembali membahas mengenai logika mistika. Seseorang yang menganut logika mistika akan langsung mengaitkan fenomena yang mereka alami dengan sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini tidak didapatkan melalui proses-proses logika dan dialektika yang berulang. Hal ini sama saja seperti menyamakan buah apel dengan atom, karena tidak terdapat fondasi terhadap argumen yang mereka lontarkan. Seseorang yang menganut logika mistika akan langsung mengaitkan fenomena yang mereka alami dengan sebuah kesimpulan. Ini adalah kebiasaan turun temurun masyarakat Indonesia yang diperkuat oleh kepercayaan mereka terhadap takhayul, hal gaib, atau hantu. Pada akhirnya, hal ini membuat Malaka menganggap bahwa logika mistika adalah alasan mengapa bangsa Indonesia masih terjajah hingga saat itu.

Logika mistika dan interpretasi statistik

Lihatlah radar ini. Sekarang periksa angka persentil asis dan gol Odegaard. Terlihat di radar bahwa angka persentil gol Odegaard adalah 63, dan asis adalah 55. Individu yang masih terpengaruh oleh logika mistika akan menganggap bahwa pemain dengan angka persentil asis dan gol tersebut sebagai pemain yang jelek, dan langsung menghakimi Odegaard sebagai pemain yang jelek.

Jika dijadikan sebagai kerangka berpikir, bentuknya kira-kira seperti ini:

Tidak ada proses dialektika, hanya sampai ke argumentasi. Argumen ini, jika diumpamakan sebagai benda, hanyalah sebuah atom yang memiliki energi lemah, karena tidak mengalami tumbukan dengan atom (argumen) lainnya.

Sekarang, kita coba rangkai argumen yang lebih kuat. Persentil gol dan asis Odegaard terletak di angka 63 dan 55. Odegaard adalah pemain. Semua pemain yang mencapai angka 63 dan 55 adalah pemain yang pas-pasan dalam mencetak gol dan asis. Semua pemain yang pas-pasan dalam mencetak gol dan asis adalah pemain yang jelek. Maka, argumen pertama adalah Odegaard merupakan pemain yang jelek.

Sekarang, kita coba rangkai antitesisnya. Odegaard adalah pemain. Semua pemain yang mencapai angka 63 dan 55 adalah pemain yang pas-pasan dalam mencetak gol dan asis. Sebagian pemain yang pas-pasan dalam mencetak gol dan asis adalah pemain yang terakhir menggiring bola di final third. Semua pemain yang terakhir menggiring bola di final third adalah pemain yang bagus. Odegaard adalah pemain yang bagus.

Kedua argumen ini saling bertabrakan dan menciptakan premis baru. Karena antitesis lebih kuat dari tesis (antitesis memiliki 5 tesis yang valid secara logika, sedangkan tesis hanya satu), antitesis menjaga kebertahanan mereka, dan argumen mulai berubah sifat mendekati “Odegaard adalah pemain yang bagus.” Anggap saja seperti bola padat yang tenggelam di dalam air di dalam baskom. Bola padat memiliki struktur atom lebih banyak dan rapat, sedangkan air memiliki struktur atom yang lebih sedikit dan renggang. Air tersebut akan buyar oleh bola padat, yang menembus kerenggangan air tersebut sampai ke dasar baskom. Bola padat menjaga sifatnya, dan air menjadi buyar.

Epilog: Takhayul

Contoh di atas merupakan contoh yang disederhanakan. Terdapat bukti-bukti lain yang dapat membentuk argumen bahwa Odegaard merupakan pemain yang baik atau buruk. Namun, hal ini tidak dapat mengalihkan kita dari implikasi besar yang diberikan oleh proses tersebut. Kita bisa melihat contoh sederhananya dalam transfer Ciro Alves menuju Persib. Ciro mencetak 20 gol dan 7 asis di Persikabo. Akan tetapi, Ciro lebih sering mencetak gol melawan tim lemah, mempunyai xG gol yang kecil, serta terkadang merusak struktur penyerangan Persikabo. Kita tidak bisa langsung menghubungkan gol dan asis pemain dengan kehebatan atau kejelekan pemain.

Jika seseorang langsung mengaitkan statistik dengan kejelekan atau kehebatan pemain, tanpa melalui proses logika dan dialektika yang diulang berkali-kali hingga jumlah tak hingga, kejelekan atau kehebatan pemain tersebut hampir sejajar kodratnya dengan takhayul, layaknya pawang hujan yang menyebabkan berhentinya hujan. Dan pada akhirnya, 76 tahun setelah kita merdeka, Indonesia masih terpengaruh oleh pikirannya yang terjajah, terutama di sepak bola.

--

--

No responses yet