Kurang apa?: Menelisik lebih jauh perbedaan sepak bola Indonesia dengan luar negeri di dalam lapangan (Prolog)

Irzi Ahmad R
6 min readMar 13, 2022

--

Foto: Kompas Bola

Malam itu aku berjalan pulang dari stasiun KRL di Klender. Aku berjalan terus ke rumah sepupuku dan singgah di warung kopi sebentar karena ada televisi kecil yang menayangkan Piala AFF. Seperti biasa, para penonton yang mungkin juga terpengaruh rasa lelah karena pekerjaan kerah putih dan birunya, yang warnanya melebur menjadi satu, layaknya puntung rokok mereka yang saling menabrak di satu asbak. Mereka mengeluh sesaat setelah seorang bek kanan yang kemarin berteriak di depan seorang pemain Singapura yang malang gagal menghalau lari dari si kerdil nomor 18 itu. Seketika umpatan yang nampaknya terbesit di kesadaran kolektif masyarakat mulai terdengar.

Gimana mau main di Piala Dunia? Pemain aja ngos-ngosan! //…. ah, sepak bola Indonesia ga maju-maju, pemainnya aja gabisa ngumpan! // Sebenarnya kalo fisik kita dibenerin sepak bola Indonesia bisa maju seperti negara Asia lainnya!

Saya, dalam hati, masih kurang sreg dengan sifat beberapa orang di sekitar saya yang sering melakukan proyeksi dari kekesalan mereka tentang kehidupan dan negeri ini — mungkin juga teman-teman yang sering mengikutsertakan dirinya bersama kelompok suporter atau spektator sepak bola. Sepak bola, layaknya hidup dan kebijakan pemerintah, merupakan sasaran dari emosi manusiawi, menipiskan garis antara rasionalitas manusia yang berkembang dari kemampuannya untuk memanipulasi batu dan memasak masakan mentah dengan insting hewani yang mendekatkan kita dengan bahaya fiktif yang kita — serta lingkungan kita ciptakan.

Ketidaksukaan saya terhadap heuristik — sebenarnya juga termasuk dari sifat buruk saya yang dulu selalu berlari dari insting manusiawi — disebabkan oleh beberapa orang yang terbuai akan jawaban cepat dari masalah-masalah yang mereka hadapi dari kehidupan mereka. Pemerintah melakukan kesalahan bertubi-tubi selama masa jabatannya? Pilih pemerintahan baru dengan janji yang sudah kita dengar berkali-kali sebelumnya, namun menggunakan jurus yang lebih jitu agar kita tidak terbodohi. Merasa sedih dan murung setiap hari? Mari kita melakukan self-healing, gratifikasi instan seperti makanan, liburan, dan — kejutan — apa saja yang ditawarkan oleh industri sebagai jalan keluar dari permasalahan kita, yang tentu saja (tentu saja!) tidak diniatkan untuk menggerakkan roda keuntungan mereka. Hal ini juga meracuni sepak bola. Tiga pertandingan tanpa kemenangan dan pelatih belum sempat mengimplementasikan model permainannya dengan baik di lapangan? Pecat dia, meskipun dia sudah membawa tim ini keluar dari zona degradasi! Timnas kocar-kacir di tengah lapangan gara-gara musuh? Ini salah fisik, salah kita kebanyakan makan nasi bungkus setelah latihan!

Ya sudahlah, sampai di sini saja keluhan saya tentang strategi bernalar dari manusia. Kita mulai saja membahas tentang sepak bola negara kita yang tiada habisnya memberikan hiburan — baik, buruk, lucu, kadang mistis — di kehidupan kita yang sengsara. Pertama, saya akan memasang pertanyaan terbesar dari apa yang akan dibahas hari ini:

Kurang kita dari sepak bola luar negeri apa?

Sederhana namun kompleks. Mudah namun sulit. Berbelit namun lurus. Jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam, mulai dari teknologi negara-negara Barat yang lebih kuat dan mutakhir setelah Abad Pencerahan, fisik, mental tempe, hingga inkompetensi dari institusi sepak bola yang sudah ketahuan dari masa lalu. Namun, saya akan menjauh dari satu jawaban pasti, dan memutuskan untuk mengubah orientasi saya dalam melihat permasalahan ini. Tentu saja ilmu saya masih terlalu ketinggalan dalam membahas hal yang berbau sangat sistematis dan saintifik ini, maka saya akan menggunakan sumber daya yang bisa dilihat oleh hampir semua orang, lapangan.

Pertama, masalah budaya. Indonesia adalah negara kepulauan yang entah kenapa bisa bersatu menjadi suatu kedaulatan karena hampir semua orangnya merasa — atau dipaksa merasakan — senasib sepinanggungan. Hal ini tercermin dari Bhineka Tunggal Ika yang menjadi motto negara kita — dan sering dijadikan sebagai senjata apabila terdapat sesuatu yang tidak mengenakkan. Apakah Indonesia merupakan negara kolektivis? Ataukah kolektivis ini hanya sekadar perasaan senasib yang kadang-kadang muncul ketika pesta olahraga saja; kolektivis yang hanya merupakan sebuah topeng penutup tribalisme dan individualisme dari penduduk-penduduknya yang terkekang oleh batasan sosial, ekonomi, budaya, iklim, nilai, konformitas? Oh, dunia yang kompleks!

Kompleksitas ini akan kita bawa ke lapangan. Apakah gotong royong kita sudah merupakan gotong royong yang sebenarnya? Bersatu untuk meraih kemenangan di lapangan? Atau hal itu hanya alasan untuk menutupi kekurangan kita dalam segi individual? Atau tidak, yang paling masuk ke nalar, kedua hal ini merupakan hal yang saling memengaruhi satu sama lain dalam lapangan? Maka, kita akan menjadikan kedua hal ini sebagai suatu hal yang proto-sistematis sebagai pengenalan dari tulisan ini. Selain itu, kita melakukan hal ini untuk satu tujuan. Buang jauh dulu sesumbar Piala Dunia itu. Kita akan membahas juga tentang metode-metode yang akan kita gunakan dalam mencapai tujuan tersebut.

Metode

Strategi

Strategi adalah metode-metode yang disediakan oleh pemangku kepentingan, yang pada utamanya adalah staf-staf kepelatihan untuk memenangkan pertandingan. Hal ini biasanya berupa filosofi permainan beserta komponen-komponen dan sub-komponennya.

Anggap saja seperti sepak bola-nya Mikel Arteta yang memiliki strategi utama menyerang dengan menciptakan lima keunggulan di lapangan (jumlah, kualitatif, posisi, kooperasi, dan dinamik,) yang juga sekaligus dijadikan sebagai strategi bertahan dengan menciptakan “kandang” yang akan memudahkan mereka untuk mendapatkan bola.

Arteta juga menerapkan pressing tinggi yang sebentar sebelum bola menembus baris pertahanan pertama, dan mereka mundur menjadi midblock 4–4–2. Lalu, striker dan gelandang serang melakukan pressing lagi untuk membatasi musuh dalam membangun serangan lewat pinggir dan menjebaknya di dalam “kandang” tersebut.

Taktik

Taktik adalah upaya dari pemain-pemain untuk memanfaatkan kemampuan yang mereka punya dalam melaksanakan strategi yang sudah disiapkan oleh pelatih. Kemampuan ini bisa berupa, fisik, mental, teknik, maupun kognitif.

Misalnya, pelatih melakukan instruksi untuk menciptakan keunggulan jumlah di pinggir lapangan. Pemain pun mendapatkan permasalahan di pertandingan, yaitu lawan bereaksi dengan menutup opsi umpan dari pemain (anggap saja bek tengah) dengan cara memaksanya mengumpan ke kanan, di mana jebakan pressing akan disiapkan, dan gelandang tengah yang berada di half-space (bagian vertikal ke-dua dan ke-empat dari lima bagian) di-man mark.

Bek kanan mempersiapkan dirinya untuk menyiasati titik buta penjaganya, dengan memanfaatkan atensi penjaganya yang terfokus pada bola. Gelandang serang dapat memanfaatkan keahliannya untuk mengumpan dengan gaya badan yang tertutup ke arah sayap, atau mengumpan ke arah bek sayap.

Maka, bisa dipahami bahwa jika taktik adalah “pilihan senjata” dalam menggempur musuh. Semua senjata mempunyai keahliannya tersendiri, dan senjata ini bisa diasah, sampai taraf tertentu; dan tentunya senjata-senjata ini mempunyai kelasnya tersendiri.

Individu dan Kolektif

Kita akan melihat kemampuan pemain dan tim dalam segi individu maupun kolektif. Namun, perlu diingat dua hal ini merupakan suatu hal yang saling berinteraksi antar satu sama lain. Pemain yang sangat baik dalam menciptakan peluang bisa jadi merugikan tim secara struktur karena dia bergerak ke mana-mana dan pemain harus mengikutinya, sehingga tim menjadi lebih rentan saat transisi. Contoh, Ozil bebas di sayap kanan, namun jika bola terebut, Matic dan Lingard memiliki momen untuk merebut celah tersebut.

Selain itu, struktur kolektif juga mengharuskan pemain mempunyai keahlian individu yang spesifik. Contohnya, dikarenakan ruang bermain semakin sempit dan pemain depan diharuskan untuk bermain semakin dalam untuk mempersempit ruang lawan, penyerang harus belajar cara melakukan link-up play, dan mempercepat aliran umpan ke sayap untuk menjaga momentum serangan. Hal ini dapat meliputi aspek-aspek seperti pengambilan keputusan, kontrol bola, kekuatan mengumpan, dan lain-lain.

Setelah membahas hal ini, mungkin saya akan membawa beberapa contoh dari pertandingan-pertandingan di berbagai belahan dunia dan membandingkannya dengan kualitas tim nasional Indonesia maupun liga domestiknya. Sampai jumpa di beberapa hari berikutnya!

--

--

No responses yet