Kenapa Pelatih Real Madrid Harus “Ngemong”

Irzi Ahmad R
2 min readJul 24, 2024

--

Real Madrid punya sejarah sebagai tim terbaik di dunia, dan sejarah tersebut kembali terbuktikan. Tahun ini, mereka kembali memenangkan Champions League. Dua kali dalam tiga tahun, melawan Manchester City yang bisa dibilang tandingan setara mereka.

Tentu saja, dengan komposisi tim yang sangat kuat, mereka memiliki pemain-pemain dengan kepercayaan diri tinggi. Mereka punya kepercayaan lebih terhadap kemampuannya, dan bisa menggunakan hal tersebut untuk mengubah jalannya pertandingan.

Rahasia tersebut membuat Real Madrid selalu jadi raja comeback, mereka bisa memutarbalikkan keadaan meskipun tertinggal dengan cara apapun. Namun, di sisi lain, adanya pemain-pemain dengan kepercayaan diri tinggi membuat ego mereka semakin berbenturan.

Dengan berbenturnya ego ini, maka situasi ruang ganti akan menjadi sangat panas. Semua pemain merasa dirinya benar, dan apabila tidak dihadapi dengan baik maka perpecahan dapat terjadi di belakang layar.

Sejarah pun membuktikan bahwa api tidak dapat dibalas dengan api. Jose Mourinho, pelatih yang terkenal ngotot dan agresif, justru tidak bisa mengatasi pemain senior dengan baik. Konfliknya dengan Casillas sangat disorot pada tahun 2013; ia bahkan mengganti ban kapten dari Casillas. Dua pribadi kuat dengan pandangan berbeda ini pun saling beradu.

Hasil di lapangan pun tak mendukung. Mourinho pun tidak dapat meraih Champions League, kandas di kandang sendiri pada babak adu penalti, tidak dapat mengejar Borussia Dortmund-nya Klopp, dan, yang paling memalukan, dikalahkan oleh rival abadi yang ingin dia hancurkan, Barcelona. Melatih dengan gaya ngotot dan agresif nampaknya bukan jawaban untuk Madrid.

Jawaban yang didapatkan Madrid malah sangat menarik. Pelatih yang terlihat lembut dan “ngemong” justru dapat membawa Real Madrid ke potensi tertingginya. Vincente del Bosque, Carlo Ancelotti, dan Zinedine Zidane bukan pelatih yang memimpin dengan teriakan, namun dengan pengertian.

Mereka tahu api tidak bisa dibalas dengan api, bahwa pemain dengan ego tinggi sebaiknya diberikan kebebasan di lapangan. Akan tetapi, di sisi lain, ruang ganti pun tetap dibuat harmonis, sehingga pemain akan bermain dengan perasaan lepas dan solidaritas tinggi.

Melatih dengan rasa pengertian pun bukan menandakan bahwa mereka tidak punya standar tinggi. Ketiga pelatih ini pernah bermain di level tertinggi, sehingga mereka tahu apa saja kewajiban yang harus pemain penuhi. Zidane menghukum Vinicius karena bermain HP, del Bosque tidak suka pemain yang tidak memiliki motivasi, dan Ancelotti ingin pemain tetap profesional.

Dengan adanya pelatih “ngemong” dan berstandar tinggi ini, Real Madrid memiliki pemain yang percaya diri dan mampu mengubah keadaan kapan saja. Pemain adalah pahlawannya, bukan pelatihnya, maupun taktiknya.

--

--

No responses yet