Kekalahan Timnas Indonesia dan keanehan dari kompetisi internasional

Menjadikan prestasi di turnamen bersampel kecil sebagai sebuah acuan dari perkembangan sepak bola sebuah negara merupakan hal yang sangat tidak bijak.

Irzi Ahmad R
8 min readMay 7, 2022

Semua orang optimis, termasuk penulis.

Tim nasional (Timnas) Indonesia U-23 pada SEA Games 2022 digadang-gadang menjadi Timnas terbaik dalam beberapa tahun terakhir. Berbekal pemain yang sebagian besar merupakan alumni dari skuad peraih runner-up Piala AFF 2020, Timnas U-23 kembali tampil dengan ekspektasi tinggi yang disematkan oleh federasi serta para fans, yaitu medali emas. Kita sudah tahu bagaimana hal ini terjadi sebelumnya, namun dengan melihat perkembangan Timnas hingga sekarang, harapan besar nampaknya menjadi suatu hal yang wajar untuk kita pegang.

Akan tetapi, pada malam hari yang dingin di stadion Viet Tri, semua yang menjadi penanggung jawab dari Timnas U-23 mendapatkan pelajaran berharga ketika menjamu Vietnam U-23. Kekalahan seharusnya menjadi hal terakhir di benak kita, karena kita sebelumnya sudah berpengalaman dalam menghadapi kedigdayaan Vietnam. Sebelumnya, di Piala AFF 2020, Timnas bermain dengan formasi 3–4–3 untuk menjaga kelebaran serta stabilitas selama jalannya pertandingan, mengingat kekuatan Vietnam dalam segi kolektif, dan dapat menahan gempuran dari mereka hingga menit akhir. Pada hari Jumat kemarin, sebaliknya, Timnas U-23 mencoba cara gung ho dengan memainkan formasi 4–2–3–1, sistem yang membuat Timnas unggul dalam kedalaman, namun kalah telak dalam kelebaran, terutama melawan Vietnam yang bermain dengan skema 5–2–1–2. Maka, tujuan Timnas sudah jelas, yaitu menghentikan Vietnam di sisi sayap, agar mereka tidak mampu melakukan koneksi dengan №10 Vietnam, setrta menyerang lewat sektor tengah dan pinggir lapangan. Akan tetapi, mereka tidak mampu untuk mengeksekusi strategi serta taktik mereka dengan maksimal, dan kalah dengan skor telak, 0–3. Seketika, harapan tersebut kembali berubah menjadi sinisme yang biasa kita lihat pada fans Timnas ketika menelan kekalahan. Namun, coba dengan sejenak kita lepaskan sinisme kita dan menganalisis pembelajaran yang dapat kita petik dengan kepala dingin.

Pemain Timnas pada awalnya mampu untuk sesekali memegang momentum permainan. Saddil, Ricky, Egy, dan Irfan merupakan pemain-pemain yang cerdas, baik di atas bola maupun bergerak tanpa bola. Kita sesekali melihat mereka melakukan kombinasi ciamik yang mampu mematahkan lini pertahanan dari Vietnam. Akan tetapi, 4 (atau kadang 5) pemain saja tidak cukup untuk menyerang pertahanan lawan. Terlihat jelas bahwa bek sayap dari Timnas — yang tentunya dipilih karena kemampuannya di Liga 1, spesifiknya Rio Fahmi, tidak mampu untuk mengimbangi intensitas bermain dari keempat pemain tersebut. Rio terlihat ragu untuk maju membantu Egy membangun serangan dari sayap, dan juga gagap dalam menjaga transisi.

Begitu juga dengan 6 pemain yang tidak cukup untuk menjaga pertahanan. Dua gol Vietnam terjadi karena dua pivot Timnas sangat mudah untuk dilewati, dan tidak ada yang mampu menjaga kelebaran ketika hal itu terjadi. Klok berkali-kali harus menjaga ruang yang luas karena Abimanyu dan Rian mengikuti musuh terlalu jauh atau buruk dalam pemosisian. Alhasil, para pemain Vietnam dengan mudah mengalahkan kedua pivot Timnas. Selain itu, Klok juga harus melindungi ruang di belakang Rio, karena ia tidak disiplin dalam bertahan. Maka, bagian tengah Timnas semakin terbuka, yang membuat mereka rentan terkena cutback atau umpan ke pemain yang bakal menghadapi lini pertahanan akhir Timnas secara langsung.

Menyalahkan bek sayap serta kedua pivot Timnas saja dalam kesalahan bertahan Timnas juga tidaklah bijak. Egy dan Saddil juga jarang mundur untuk semakin menutup ruang ketika Vietnam melakukan serangan dari pinggir lapangan. Selain itu, keempat penyerang Timnas juga tidak maksimal dalam menutup ruang pemain Vietnam ketika mereka melakukan fase awal build-up (tepat setelah kiper mengumpan ke bek) melalui pinggir lapangan, sehingga ketika keempat penyerang tersebut terlewat, Vietnam mampu mengobrak-abrik pivot serta lini pertahanan akhir Timnas. Timnas memang rindu kecerdasan Arhan dalam overlap maupun menggocek ke tengah lapangan, serta agresivitas Asnawi dalam melakukan overlap dan umpan menyisirnya, namun bukan berarti para penyerang Timnas yang sedang bermain di atas lapangan tidak perlu bekerja keras untuk membantu pertahanan Timnas.

Kedua hal ini juga sering membuat serangan, pertahanan, dan transisi Timnas rusak secara kolektif. Posisi pivot yang terlalu jauh dari keempat penyerang (entah karena salah satu pivot tidak maju, atau gelandang serang tidak mundur, atau keduanya) menyebabkan Vietnam dengan mudah mengakses ruang di antara mereka dan serangan Indonesia menjadi tidak efektif. Bek kanan yang pasif pada saat para pemain Timnas maju ke depan menyebabkan Timnas tidak mampu memanfaatkan overload 5v4 terhadap baris pertahanan terakhir Vietnam, karena kombinasi antara penyerang sayap dan bek sayap sangat penting untuk mengobrak-abrik baris pertahanan kedua Vietnam. Mengingat formasi 4–2–3–1 yang sangat sempit, pasifnya penyerang dalam menutup ruang dapat menyebabkan bek sayap harus menghadapi lawannya secara langsung, sehingga pivot harus menutup celah di belakangnya, dan bagian zone 14 (zona tepat di belakang kotak penalti) menjadi terekspos. Pivot kiri yang posisinya terlalu kiri membuat pivot kanan menutup ruang yang terbuka, dan dibarengi dengan penyerang sayap yang tidak menutup ruang pivot, Vietnam mampu untuk melakukan switch ke daerah berbahaya. Semuanya saling berkaitan satu sama lain.

Mengingat bahwa kekalahan dapat menyebabkan kita terlalu fokus dalam negativitas dan melihat performa Timnas sebagai suatu keseluruhan yang buruk, penulis juga ingin memuji agresivitas Ridho dan Fachruddin dalam melindungi baris pertahanan Timnas, selain ingin memuji aksi dari keempat penyerang Timnas dalam menyerang di menit awal. Hal ini jarang kita temui pada bek yang bermain di Liga 1, dan agresivitas ini sangat krusial ketika salah satu dari pivot Timnas terlalu maju ke depan dan pemain Vietnam “menyelinap” ke belakang ruang tersebut. Jika dibarengi dengan bek sayap yang lebih proaktif dalam fase build-up serta transisi (tanpa mengurangi rasa hormat penulis terhadap Rio dan Firza, dua bek sayap terbaik di Liga 1), kemungkinan besar performa Timnas secara kolektif akan lebih terangkat.

Kemampuan Timnas U-23 — dan Timnas secara keseluruhan, memang sudah banyak mengalami peningkatan. Namun, untuk melangkah lebih jauh lagi, para penanggung jawab sepak bola indonesia — bukan hanya Timnas U-23 — harus menanggulangi satu kesalahan fatal yang terus-menerus mereka lakukan. Kesalahan ini sangat berpengaruh pada perkembangan sepak bola Indonesia secara keseluruhan, karena menyebabkan kacaunya proses yang dilaksanakan oleh para penanggung jawab ini.

Kompetisi internasional merupakan ajang persepakbolaan paling aneh dalam segi statistika dan pengambilan keputusan. Saya mencoba mengambil contoh paling dekat, yaitu Piala AFF 2020. Kompetisi tersebut memiliki maksimal 8 pertandingan (empat di fase grup, 2 di semifinal, dan 2 di final). Delapan pertandingan (n=8) merupakan sampel yang sangat kecil untuk dijadikan sebagai sebuah kesimpulan. Dalam arti lain, kita tidak dapat mejelaskan secara pasti tentang indikasi performa Timnas pada turnamen itu. Contoh yang akan saya beri adalah semifinal leg ke-2 melawan Singapura. Timnas menang dengan skor 4–2, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka juga beruntung karena kartu merah aneh terhadap Safuwan, pelanggaran Rian di kotak penalti yang tidak digubris, dan penalti Singapura yang diselamatkan oleh Nadeo di menit akhir. Namun, karena Timnas menang, fans langsung memuji “mental juara” dan “proses” yang nampaknya dibawa oleh Shin Tae-yong (STY).

Mentalitas merupakan aspek yang menarik untuk diteliti pada turnamen bersampel kecil seperti kejuaraan internasional. Tentu saja, mental merupakan aspek yang sangat penting bagi sebuah tim untuk meraih gelar juara. Mentalitas menjadi semakin penting ketika tim sedang berada di fase di mana menang-kalah merupakan taruhan yang sangat besar. Pada fase ini, menurut Seth Partnow, mantan Direktur Riset Bola Basket Milwaukee Bucks, para pemain harus mengerahkan kemampuan terbaiknya, karena jika tidak, pilihan satu-satunya adalah tereliminasi dari turnamen. Kepercayaan diri yang tinggi, serta konsistensi dalam menjaga kepercayaan diri tersebut sepanjang permainan membuat para pemain mampu untuk mengerahkan kemampuan terbaiknya. Sebagai contoh, Timnas kembali berhasil mengeluarkan kemampuan terbaiknya pada 10 menit terakhir melawan Singapura, dan tetap menjaga intensitas pada babak extra-time, dan pada akhirnya melaju pada babak final. Alhasil, mentalitas merupakan hal yang tidak mempunyai kompromi pada turnamen internasional, di mana taruhan menang-kalahnya lebih tinggi dari pada pertandingan liga. Sahabat setia dari sampel kecil.

Namun, mental merupakan hal yang sangat sulit diukur di dalam lapangan. Kita tidak dapat tahu secara pasti kapan sebuah tim tiba-tiba loyo atau semangat pada saat mereka bertanding. Sebagai contoh, Pep Guardiola mengatakan bahwa saat-saat paling rentan dalam sebuah pertandingan adalah ketika tim kebobolan oleh musuh yang sedang mengejar ketertinggalan skor. Solusi Pep adalah dengan membuat timnya terus melakukan rangkaian umpan hingga musuh tersebut kembali menjadi “dingin.” Namun, Pep mengakui bahwa aspek ini adalah salah satu kelemahan terbesar dirinya, yang bisa dilihat dari kekalahan mereka melawan Real Madrid di Liga Champions, turnamen berbasis eliminasi. Pelatih terbaik di dunia, yang terkenal dengan kecerdasannya dalam membangun tim yang konsisten meraih gelar juara pun menjadi korban dari mentalitas serta sampel kecil dari turnamen dengan taruhan menang-kalah yang tinggi.

Masalah sampel kecil yang dimiliki pertandingan internasional, taruhan menang-kalah yang tinggi, serta bagaimana variabel yang sulit diukur seperti mentalitas dapat memengaruhi hasil dari pertandingan tersebut membuat masalah ini menjadi semakin pelik, karena kita selalu menjadikan prestasi pada turnamen internasional sebagai patokan dari perkembangan sepak bola Indonesia. Tetapi, kita selalu mendengar tenang obsesi para fans serta petinggi sepak bola kita terhadap medali emas. Apapun yang terjadi, target kita selalu emas. Pada dasarnya, obsesi ini merupakan suatu hal yang sangat tidak bijak. Performa Timnas pada turnamen internasional tidak dapat dijadikan sebagai basis untuk pengambilan keputusan sekrusial proses seperti perkembangan sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Alhasil, meskipun beberapa penanggung jawab sudah mempersiapkan sumber daya yang brilian dalam melaksanakan proses ini, seperti Filanesia, orientasi terhadap medali emas membuat sumber daya ini tidak dapat diimplementasikan secara konsisten pada proses tersebut. Selain itu, terburu-burunya penanggung jawab sepak bola Indonesia dalam mengubah jalannya proses karena harus mengikuti target emas juga dapat menjelaskan terhadap terbengkalainya aspek-aspek yang penting dalam perkembangan sepak bola Indonesia.

Sebagai contoh sederhana, kita lihat proses pengembangan pemain sejak dini, training center, serta kualitas piramida kompetisi. Masih terdapat klub yang sewenang-wenang dalam mengikuti regulasi perekrutan pemain muda; mereka mengiming-imingi pemain serta orang tuanya dengan uang agar keluar dari sekolah sepak bola (SSB) mereka, serta melakukan eksploitasi pemain dengan memainkan mereka terus menerus dalam kompetisi yang banyak. Hal ini menyebabkan pemain tersebut berkembang secara prematur, dan menyebabkan perkembangan mereka menjadi pemain yang cemerlang di dalam maupun di luar lapangan menjadi tersendat. “Rangkap jabatan” STY — bukan merupakan kesalahannya, yaitu dengan memegang kendali atas Timnas U-19, U-23, serta senior dapat membuat proses dari salah satu kelompok umur menjadi terbengkalai. Kualitas piramida kompetisi juga masih perlu untuk disorot; klub yang masih menunggak gaji, kasus kekerasan pada liga bawah, strategi transfer yang tidak jelas (sering asal-asalan membeli pemain marquee tanpa memerhatikan dampak jangka pendek, sedang, dan panjang pada klub tersebut), serta operasional yang mengecewakan membuat piramida kompetisi di Indonesia tidak dapat menjadi ajang yang sesuai untuk mengembangkan potensi pemain secara maksimal.

Alasan-alasan di atas semakin menguatkan argumen bahwa melakukan semuanya demi medali emas sebuah turnamen internasional malah dapat mengacaukan proses yang disiapkan oleh penanggung jawab sepak bola Indonesia. Jika dilihat dari lensa Hukum Goodhart, yaitu bagaimana sebuah tolak ukur akan kehilangan signifikansinya ketika dijadikan sebuah target, target medali emas malah akan membuat kita semakin tidak mungkin mendapatkan medali emas, karena akan membuat kita terburu-buru dalam melaksanakan proses yang seharusnya sistematis dan terukur. Mungkin, solusi terbaik adalah dengan tidak menjadikan suatu hal yang abstrak seperti medali emas sebagai patokan, dan dengan sebaliknya memasang target-target terpisah yang secara keseluruhan berhubangan terhadap perkembangan sepak bola Indonesia secara jangka panjang. Perkembangan pemain muda yang maksimal akan menumbuhkan pemain yang cemerlang, yang dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi pada training center yang berkualitas, dan mampu untuk ditantang untuk meningkatkan kemampuannya dalam level liga. Mungkin, di dunia lain, jika kita melakukan pendekatan ini, kita akan melihat Timnas U-23 yang jauh lebih kuat melawan Vietnam di atas lapangan.

Pada akhirnya, kita semua adalah penanggung jawabnya, bukan hanya PSSI, STY, atau pemain Timnas U-23. Kita semua memiliki andil dalam permasalahan ini. Kita perlu meningkatkan kesabaran dalam menganalisis masalah yang terjadi; tidak hanya teriak-teriak salah pemain kurang lari, PSSI bobrok, STY miskin taktik, namun juga tahu apa yang kita teriakkan. Sinisme kosong tidak akan meningkatkan sepak bola Indonesia, dan kita harus — tidak pakai tapi — menjadi penanggung jawab yang berkualitas.

--

--

No responses yet