Indonesia 7–0 Brunei Darussalam: Menyingkap Tabir Kemenangan Telak

Irzi Ahmad R
5 min readDec 28, 2022

--

Kita semua tahu skornya, dan kita juga tahu siapa lagi yang pernah menang 7–0? Spanyol. Mereka menunjukkan kedigdayaan di atas lapangan; semua yang direncanakan oleh Luis Enrique menjadi kenyataan. Permainan posisional, kombinasi segitiga simetris, dan pergerakan terukur dari pemainnya menjadi sesuatu yang dielu-elukan.

Tiga pertandingan selanjutnya, mereka tidak meraih satu kemenangan pun: seri melawan Jerman, takluk melawan Jepang, dan kalah secara memalukan melawan Maroko. Tersingkir dengan cara yang sama empat tahun lalu: adu penalti, seribu lebih umpan yang arahnya bukan ke depan, dan kesulitan masuk ke kotak penalti.

Permainan estetik Spanyol seketika menjadi bulan-bulanan: kurang efisien, kurang tajam, mengebiri kreativitas pemain, dan lain-lain. Opini yang dipengaruhi menang kalahnya sebuah tim sudah biasa, namun terasa lebih telak ketika kalah di ajang turnamen internasional. Lagipula, kesempatan selanjutnya baru akan muncul 4 tahun lagi!

Hematku, kemenangan telak melawan tim kecil menyingkap dua tabir: kekuatan terbesar dari persepakbolaan sebuah negara dapat menjadi kelemahan terbesar pada pertandingan selanjutnya. Hidup adalah keseimbangan, dan itu adalah cara Tuhan mengingatkan kita bahwa kekuatan bisa terlalu digembar-gemborkan untuk menutupi kelemahan — yang ironisnya merupakan konsekuensi dari kekuatan itu sendiri.

Satu lagi hal pelik yang ingin aku bahas hari ini: dinamika opini. Seperti pendulum, opini bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari penjelasan atas fenomena yang menarik perhatian manusia. Tentu, kecenderungan opini ini sangat dipengaruhi oleh nilai kehidupan yang seseorang pegang. Maka, kita sebenarnya kurang bisa mempercayai kebenaran yang dipegang sebagai suatu hal yang absolut. Kembali lagi ke perspektifku mengenai peran masing-masing individu/kolektif; pesan mulia yang kita punya hanya mampu menyelesaikan satu sisi dari permasalahan yang kompleks.

Timnas bermain dengan formasi 4–2–3–1, suatu pergantian dari 4–3–3 yang digunakan ketika melawan Kamboja. Midfield three dari Timnas terlihat lebih pragmatis, Dendy bermain menjadi gelandang serang, sedangkan Rian dan Abi bermain menjadi dobel pivot. Spaso bermain menjadi ujung tombak dengan Saddil dan Egy masing-masing menjadi sayap kiri-kanan. Edo, Asnawi, Ridho, dan Hansamu dipercaya untuk memperkuat lini belakang.

Di atas kertas dan di dalam lapangan.

Pakem serangan Timnas hari ini terlihat seperti Brazil-nya Tite. Formasi 4–2–3–1 berubah menjadi 4–2–4 ketika menyerang, mengandalkan rotasi sayap, ketajaman dribbler, serta kreasi dari Abi. Seringkali okupansi 5 (atau 6 ruang vertikal?) terjadi untuk merentangkan pertahanan 5 orang dari Brunei. Perbedaannya dari pertandingan kemarin? More players swarming the box, because it’s Brunei anyways, they won’t bite.

Okupansi 5 (dari 6) ruang vertikal dan overload kotak penalti

Struktur 4–2–4 terlihat kekurangan pemain pada sektor tengah, namun Timnas memiliki beberapa metode untuk menanggulangi hal tersebut: Asnawi merangsek ke tengah, Spaso/Saddil yang turun, hingga Ridho/Hansamu yang maju ke depan untuk menyambut bola. Para pemain ini cukup dinamis sehingga Timnas tetap tidak akan kekurangan pemain pada fase serangan akhir.

Sometimes I do think that we undderate our players too much. Mereka cukup pintar dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di lapangan. Bisa dilihat di sini, para pemain Timnas bisa saling mengisi dan menciptakan ruang dengan luwes; Spaso mundur, Egy dribel, dan Rian incar ruang kosong.

Kemudian, crossing. Mayoritas gol yang terjadi pada pertandingan hari ini terjadi lewat crossing. Mekanismenya menurut aku banyak, namun poin pentingnya adalah bagaimana mereka menjadi jauh lebih aktif ketika melakukan pergerakan tanpa bola. Empat lawan empat di kotak penalti, dan secara kualitas kita menang. As simple as that.

Pergerakan Sananta dan Yakob. Dan step-over apik dari Edo!

Tentu saja, Timnas tidak akan bermain seberani ini apabila Brunei bermain dengan 11 orang. Terkadang sampai enam pemain naik untuk mencekik pertahanan dari Brunei. Tidak ada konsekuensi yang berat-berat amat apabila kehilangan bola, toh Brunei juga kurang menggigit ketika counter. Jadi, bisa dibilang eksperimen ini hanya akan berjalan selama satu pertandingan saja. Mampus kalo kita kekeuh main seperti ini lawan Thailand.

Let’s go to the individual analysis. Spaso kembali memecahkan stereotip target man yang terlalu satu dimensi. Ia menjelma menjadi striker komplit, mampu untuk memengaruhi jalannya pertandingan dengan berbagai cara: drop untuk memberikan koneksi dengan rekannya, menjadi momok menakutkan di kotak penalti, hingga terlihat seperti bulldog ketika bertahan. Oh, dan gol backheel-nya yang membuatku berasumsi bahwa ia punya dendam terhadap Dimas Drajad.

Tiki-taka Spaso.

Penggantinya, Sananta, terlihat seperti Dusan Vlahovic pada pertandingan hari ini — yang membuatku agak menyesal membuat analisis mengenai underperformance-nya melawan Curacao. Pergerakan dinamis, drop untuk berkombinasi dengan rekannya, dan mentalitas satu-kali-lihat-bola-langsung-hantam merupakan skillset yang sudah mulai ia asah dengan baik.

Dua sisi Ramadhan Sananta.

Egy merupakan pemain yang cukup pelik; kekuatan terbesarnya adalah menciptakan peluang “jatuh dari langit” melalui dribelnya, yang dapat memiliki konsekuensi buruk berupa terlalu memaksakan dribelnya dan lupa bahwa ada pemain lain yang bebas di sisi lainnya. Tapi, ia sudah mulai sedikit mengurangi kebiasaan ini, menunjukkan bahwa ia sebenarnya bisa menjadi tajam ketika diperlukan.

Bisa yu dikurangi dribelnya.

Aku rasa permasalahan yang Egy punya bukan decision making, karena pada beberapa saat ia sudah bisa melakukannya dengan efektif. Permasalahannya lebih ke arah bermain hero ball dan telat melepaskan bola. Solusinya bisa jadi seperti Ciro Alves di Persib: pancing lawan pakai dribel dan buka ruang di sisi lain.

Indonesia adalah negeri kepulauan dengan berbagai macam budaya, yang didapatkan secara lokal maupun internasional. Sepanjang sejarah negeri kita, proses tukar-menukar ide merupakan suatu hal yang terjadi secara alamiah. Dinamika ini terlihat di lapangan dengan caranya tersendiri, yaitu perubahan taktik yang cukup drastis pada setiap pertandingan. Tiga bulan lalu kita main 3–4–3, kemarin kita bermain 4–3–3, besoknya kita bermain 4–2–4 ala Brazil.

Aku mengambil kesimpulan bahwa salah satu kekuatan terbesar kita adalah menerima, mengolah, dan mengintegrasikan ide tersebut di atas lapangan. Kekurangannya? Proses ini akan terjadi secara lambat — pakai sangat! Aku bisa paham kenapa kita kadang tidak sabar dan merasa proses kita masi sangat jauh dibandingkan dengan negara lain; bahkan aku sendiri merasa bahwa kita stagnan dan berkembang pada saat yang bersamaan!

Ini bukan tulisan di mana aku membujuk kalian untuk bersabar dengan prosesnya — karena aku juga cukup mengerti mengapa kita sering tidak sabar dengan prosesnya. Aku hanya merasa bahwa perspektif ini mungkin akan menjadi bahan pertimbangan baru tentang apakah sepak bola kita mundur, stagnan, berkembang, atau malah semua itu berjalan beriringan dalam waktu yang sama.

--

--

No responses yet