Indonesia 1–1 Thailand (Review Cepat): Teori Tensi
Pertandingan ini sangat menguras emosi, jadi review taktikal akan datang nanti saat kepalaku mulai mendingin. Tensi, dengan kejamnya, mampu menguak siapa dirimu sebenarnya — baik maupun buruk. Mungkin aku mengira bahwa aku merupakan seorang yang cukup sabar dalam menghadapi tensi, hanya untuk dikecewakan dengan bagaimana kita menjadi sangat tidak rasional pada keadaan itu.
Tensi dapat membuatmu melakukan hal-hal aneh: memecahkan kaca bus berisi orang-orang tak bersalah, tidak mencetak gol ke gawang yang sudah kosong, menghardik pemain yang baru saja kita puji 3 hari yang lalu, dan mengeluarkan persepsi asal-asalan di media sosial yang 80–90% dipengaruhi oleh emosi (ya, aku juga agak bersalah soal hal ini).
Mungkin tensi juga salah satu hal yang menyebabkan kita kalah 3–0 melawan Malaysia di Bukit Jalil dan kalah melawan Thailand di final AFF 2016. Tiba-tiba kita yang digdaya menjadi lesu dan lemah ketika bermain. Atau mungkin kita yang mendukung proses Timnas dengan segenap hati akan tiba-tiba menjadi orang yang sinis dan menghardik setiap pergerakan dari pemain di lapangan.
These things happen, and we can’t help but succumb to it. Kita bisa berkata bahwa kita tahan banting, namun pada akhirnya yang akan menentukan adalah tensi. Big match (yang sebenarnya merupakan pertandingan fase grup biasa) adalah pertandingan yang menghadirkan banyak tensi. And it’s natural.
Ya, ketika kepala kita dingin, mungkin ada baiknya kita melihat diri kita pada saat ini dan menilai tentang apakah yang kita inginkan sekarang sebenarnya merupakan hal yang benar-benar kita inginkan, atau sebaliknya, hanya merupakan proyeksi/pelampiasan dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi. Tension strips you naked, dan mungkin ini adalah pesan bagi kita untuk berbenah dan merawat hal-hal kecil di sekitar kita. We can do this together, and i’ll trust you to find your own path.