Indonesia 1–1 Thailand (Refleksi Panjang): Stadion yang Diam dan Memutus Krisis Kepercayaan
In the land where hurt people hurt more people, fuck callin’ it culture
- Kendrick Lamar, The Heart Part 5
Stadion Gelora Bung Karno terlihat 11–12 dengan Maracana. Bentuk melingkarnya yang klasik, serta kapasitasnya yang dahulu kala sangat banyak, sehingga harus dikurangi kapasitas stadionnya hingga puluhan persen. Satu lagi yang lebih penting: bagaimana dua stadion tersebut menjadi representasi dari keadaan sepak bola negaranya.
Pada tahun 1950, sepak bola kembali dijalankan setelah 12 tahun hiatus karena perang. Brazil menjadi pilihan nomor satu, negeri yang sedang menikmati buah hasil industrialisasinya sendiri. Hura-hura karnaval ala Brazil dikomersialisasikan pada dunia dengan bentuk Carmen Miranda dan topi buahnya.
Di balik persona karnaval tersebut, masih terbesit rasa rendah diri yang belum tuntas. Aku belum menilik rasa rendah diri itu datangnya dari mana (mungkin aku akan mencoba membaca Futebol kembali untuk memahami kejadian tersebut), namun yang pasti perasaan itu akan membeludak pada saat yang sangat, sangat tidak tepat.
Brazil melangkah menuju final dengan penuh percaya diri, meraih 4 kemenangan dan 1 seri, mencetak 21 gol sepanjang jalan pertandingan dan hanya kebobolan 4 gol. Karnaval sudah disiapkan, dan koran Brazil sudah menasbihkan tim tersebut sebagai “juara dunia.”
Final — sebenarnya bukan final tapi pertandingan akhir dari babak round robin— dilangsungkan, dan Brazil langsung memegang kendali pertandingan. Suporter berteriak ke sana ke sini, menyoraki sang calon Juara Dunia. Kemudian, Friaca mencetak gol pada menit ke-47. Brazil semakin mantap melangkah ke arah juara.
Namun, Obdulio Varela punya rencana lain. El Negro Jefe sudah memberi tahu anak buahnya untuk tidak melihat ke arah suporter; permainan hanya akan dijalankan dan dituntaskan di LAPANGAN. Seusai gol Friaca, Varela mengulur waktu dengan melakukan protes pada wasit mengenai penalti yang sebenarnya tidak terjadi — hal itu ditujukan agar euforia dari suporter Brazil mendingin. Ia kemudian berkata, “sekarang adalah waktunya untuk kita menang!”
Uruguay kemudian langsung mencetak dua gol dalam kurun waktu 13 menit. Tendangan Juan Schiaffino pada menit 66 bukan hanya merobek jala gawang Brazil, namun juga ilusi kedigdayaan yang mereka bentuk dengan hati-hati.
Seketika Maracana menjadi diam. Langkah pasti menuju kemenangan menjadi kegrogian yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya. Pemain Selecao yang hidup karena mereka seketika menjadi mati karena mereka juga; ujar Chico Buarque, kamu tidak bisa mempercayakan dirimu pada sebuah stadion sepak bola.
Dan memang benar. Tiga belas menit kemudian, Andres Ghiggia melesatkan tendangan menyisir menuju sudut kanan gawang Moacir Barbosa. Skor berbalik menjadi 2–1 dan bertahan hingga akhir laga usai.
Tragedi itu and akan selalu dikenang sebagai Maracanazo, suatu kenangan menyakitkan yang akan berbekas sepanjang sejarah persepakbolaan Brazil. Mereka berusaha menghapus ingatan tentang pertandingan tersebut; jersey mereka diganti menjadi warna kuning, Barbosa dikucilkan oleh penduduk Brazil hingga akhir hayatnya, dan hampir seluruh pemain 1950 tidak dipanggil pada Piala Dunia selanjutnya.
Tragedi tersebut bisa diintepretasikan dalam dua sisi: sebagai pendukung Brazil, bersenang-senang bisa jadi merupakan mekanisme pertahanan terhadap perasaan rendah diri yang sudah disimpan dengan lama. Orang-orang yang terlihat mendukungmu sebenarnya hanya melihatmu sebagai ekstensi kehidupan mereka yang menyedihkan, dan tidak pakai pikir lagi untuk membuangmu apabila hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang mereka mau.
Sebagai pemain Uruguay, mereka sejatinya menjadi underdog, tidak ada tekanan berarti bagi mereka, yang ada hanyalah rasa semangat karena diremehkan habis-habisan oleh Brazil. Mereka tahu bahwa suporter bisa dimanipulasi untuk kepentingan mereka, karena suporter Brazil sendiri sudah memanipulasi pemain Brazil untuk mengikuti keinginan egois dari mereka. Selain itu, pemain Uruguay juga sadar bahwa di atas lapangan, hanya ada mereka, bola, dan lawan; mereka bebas berjuang tanpa perlu dilabeli ini itu oleh suporter mereka.
Kita bisa menjadi egois di saat kita tidak menyadarinya. Dan ternyata, kita secara tidak sadar menggunakan seseorang untuk melakukan hal yang sebenarnya bisa kita lakukan sendiri, seperti memperbaiki kepercayaan diri kita. Pada akhirnya, kita secara tidak sadar menggunakan mereka untuk memenuhi sebuah harapan yang kita harap dapat melipur lara eksistensial kita. Dan akhirnya, kita tidak menganggap mereka sebagai “manusia yang bertanggung jawab,” melainkan sebuah alat yang dapat menyelesaikan semua masalah kita. Pemain, PSSI, suporter, lain-lain, semua diberikan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan peran yang dipegang.
Ketimpangan ini menjadi basis hubungan antarpersonal yang tidak sehat (toxic relationship); semua dimulai ketika kita merasa senang, dan kita tidak bisa membantu diri kita sendiri meskipun tahu bakal dikecewakan oleh hal yang sama nantinya. Hubungan yang sudah ditakdirkan akan hancur dari awal karena krisis kepercayaan yang tinggi. Kamu harus mengikuti “maunya” kita dan tidak boleh dibiarkan tumbuh sesuai dengan porsinya masing-masing.
However, I‘ve had enough. This won’t help us any further. Kali ini, aku akan memberikan kepercayaanku pada kalian (PSSI, suporter, pemain, analis, staf, media, investigator pribadi dll.), karena aku yakin kalian pasti akan menemukan peran kalian di ekosistem ini. Dan aku akan melakukan yang terbaik sesuai dengan peranku. Aku merasa bahwa pesan kecil ini sebenarnya tidak terlalu penting dan mungkin kalian akan memersepsikannya dengan berbagai macam cara. Yang pasti, perspektif yang kalian punya mungkin akan menyelesaikan sisi demi sisi dari masalah yang kompleks ini. Aku doakan kalian yang terbaik dan menemukan jalan kalian.