Granit Xhaka adalah Bagian dari Arsenal

Irzi Ahmad R
3 min readNov 20, 2024

--

Gambar diambil dari Getty Images

Selama kariernya di Arsenal, perjalanan Granit Xhaka bisa dibagi menjadi 3: (1) harapan yang besar di musim pertamanya, (2) performa tidak sesuai ekspektasi dan berubah menjadi kambing hitam fans, dan (3) momen di mana dia bisa bangkit kembali.

Xhaka dibeli dari Borussia Moncengladbach dengan asumsi bahwa dia akan menjadi gelandang suksesor Arteta. Ia punya segalanya, kekuatan, agresivitas, ketahanan mental, teknik, passing, shooting. Di musim pertamanya, Xhaka berhasil mendapatkan pujian dari fans Arsenal, terutama sepakan jauhnya yang dijuluki “Xhaka Boom.”

Akan tetapi, tiga musim selanjutnya akan membuktikan bahwa gaya bermain yang tidak diperbaharui, disamping dengan rentetan hasil buruk, dapat memutarbalikkan pandangan dari fans. Xhaka mulai dikritik karena gaya bermainnya yang kasar. Ia kerap kali melakukan pelanggaran tak perlu, dan merugikan Arsenal.

Penilaian ini termasuk kurang adil, karena Xhaka di sisi lain terbukti memiliki visi dan kemampuan mengatur tempo yang belum terasah. Alhasil, berbarengan dengan hasil buruk di masa akhir Arsene Wenger dan kegagalan meraih Liga Champions di masa Unai Emery, Xhaka perlahan menjadi kambing hitam.

Karakter Xhaka yang ngotot dan melawan pun semakin memantik amarah fans Arsenal. Arsenal, secara tradisi, memang lebih menyukai pemain yang secara teknik bagus, dan mengesampingkan attitude dari pemain. Situasi pun memuncak ketika Xhaka memberontak dari fans ketika melawan Crystal Palace. Kritikan, ujar Xhaka, telah berubah menjadi kebencian.

Setelah sebelumnya ingin hengkang dari Arsenal karena kejadian tersebut — di mana Ayah dari Xhaka yang tak kenal menyerah pun menyarankan Xhaka untuk pergi, Xhaka berada di keputusan yang sulit. Untungnya, Unai Emery dipecat karena rentetan hasil buruk dan digantikan oleh Mikel Arteta. Sang gelandang yang posisinya digantikan oleh Xhaka pun tahu ia punya potensi, dan meyakinkannya untuk tetap bermain di Emirates.

Xhaka setuju, dan selanjutnya adalah sejarah. Ia berkembang secara mentalitas dan teknik. Ia berubah menjadi gelandang yang matang, di mana selain mengatur tempo permainan, ia juga kerap kali maju untuk mencetak gol. Sepakan keras melawan Manchester United menasbihkan comeback dari Xhaka: dibenci menjadi dicintai kembali. Seperti hubungan, kebencian yang kembali menjadi cinta akan menciptakan hubungan yang lebih erat.

Dikomandoi oleh dirinya, Arsenal bangkit dari masa kegelapan dan kemudian meraih runner-up di Liga Inggris. Xhaka keluar sebagai pemain yang dihargai oleh fans Arsenal. Ia mendapatkan respek yang seharusnya ia dapatkan. Tidak semua pemain bisa bangkit dari masa tersebut dan mengubah dirinya jadi lebih baik.

Xhaka pun hengkang dan bermain di Bayer Leverkusen. Meskipun dia di luar terlihat seperti bodyguard yang garang, di hatinya ia adalah seorang romantis yang menyukai permainan cantik (Mourinho yang sangat menyukainya pun ia abaikan demi bermain bersama Xabi Alonso). Ia menjadi kapten, dan situasi yang menempanya dulu ia jadikan bekal untuk membawa Bayer Leverkusen menjuarai liga Jerman tanpa terkalahkan.

Pada akhirnya, Xhaka tidak pernah mengubah siapa dirinya yang sebenarnya. Anak tangguh yang kebetulan juga merupakan seorang romantis dan memuja sepak bola cantik. Ia tetaplah seorang Granit Xhaka, apa pun yang terjadi.

--

--

No responses yet