Filipina 1–2 Indonesia: Perspektif, Perspektif
As I get a little older, I realize life is perspective
And my perspective may differ from yours— Kendrick Lamar, The Heart Part 5
I don’t know. Maybe I see things differently. And seeing things differently doesn’t mean that I’m right anyways. Therefore, I’m going to write this analysis anyways rather that justifying my standings in denial. Let’s see on how this reaction/analysis will end up and how will I stand on this dilemma of trusting.
Anchoring and adjustment. Heuristik yang mendasari tiap pilihan dari kita, dan dianggap dosa besar dalam decision making. Tapi, aku tidak terlalu setuju pada hal ini. Kita semua punya dasar nilai yang membuat kita mengutarakan tiap-tiap pendapat. Kita semua bias dan punya double standard karena hal ini. Tidak ada manusia yang sempurna, dan satu suara punya kebenaran-kebenarannya sendiri.
Semakin orang mengaitkan identitasnya dengan suatu konsep atau kepercayaan, semakin ia akan memutuskan sesuatu sesuai dengan nilai yang dipunya. Jika berlebihan, orang tersebut akan secara tidak sadar menyakiti orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda dengannya; suatu hal mengapa perang, argumen di medsos terjadi, dan kita tidak mampu untuk menghabiskan waktu dalam memahami bagaimana mereka menjalani hidup dengan kepercayaannya masing-masing.
Sebaliknya, orang yang pernah mengalami penolakan — dan takut akan penolakan — akan melakukan perilaku people pleasing, menyenangkan orang lain dan mengorbankan apa yang ia butuhkan. Semakin hari, dirinya akan semakin terjebak dalam siklus setan ini dan kehilangan jejak akan siapa dia yang sebenarnya.
Aku pernah menjadi keduanya, namun secara internal aku lebih cenderung keras kepala terhadap pendirian dan di luar aku lebih cenderung people pleasing. Kedua hal itu bergesekan sampai akhirnya aku merasa sangat tertekan dan berusaha loncat dari kamar hotel. Sebenarnya tidak meloncat itu, aku hanya berpikiran untuk mengakhiri hidupku… yang berarti masih saja buruk.
Satu tahun setelah pemikiran bunuh diri pasif itu, aku berada di posisi yang jauh lebih baik. Jauh lebih baik bukan berarti aku tiba-tiba stabil dalam emosi dan bisa memenuhi kebutuhanku secara mandiri; aku masih sering menunda skripsi, mengalami mood swing, dan berpikiran bahwa hal buruk akan terjadi. Manusia tidak sempurna, dan aku akan mencoba untuk mengaplikasikan hal ini pada kehidupanku.
Salah satu hal yang sangat membebaskan diriku setelah menerima ketidaksempurnaan ini adalah kesadaran bahwa di sisi lain, dalam kehidupan ini, orang-orang lainnya memiliki peran yang dapat mengompensasi tidak sempurnanya diriku. Aku tidak seulet petani yang memberikanku nasi, sepintar dosen yang memberikanku ilmu dalam menjalani hidup, sepengertian psikolog yang menuntunku untuk memahami diri yang kompleks ini, hingga se-24/7 orang media yang terus menyuguhi pertandingan bola agar aku tidak terlalu merasa kosong di hidup ini.
Hal-hal seperti itu yang membuatku merasa bahwa semua orang punya perannya sendiri dalam hidup, dan tujuan dari peran itu adalah untuk saling mengisi ketidaksempurnaan yang kita punya. Dan kita selamat dari savior complex yang penuh tipuan, membuat kita merasa bahwa semuanya bisa diselesaikan secara sendiri. Sungguh egois keinginan itu, mengebiri orang-orang lain yang sebenarnya lebih bisa diandalkan untuk menyelesaikan berbagai tetek-bengek yang tidak bisa dikontrol oleh dirimu.
Pakem yang dipilih STY pada hari ini adalah 4–2–3–1: line-up tidak banyak berubah dari kemarin, selain Marselino yang menggantikan Egy, Ridho menggantikan Amat, dan Ricky yang menggantikan Rian.
Skema 4–2–3–1 ini terlihat lebih menyerang karena Ricky; ia acapkali maju untuk menjadi opsi diagonal. Dengan kemampuannya untuk membawa bola, ia mampu untuk memancing lini pertahanan lawan, dan membuka ruang untuk rekannya.
Timnas berusaha mengarahkan press pemain Filipina ke arah kanan. Dua pemain tarik lini pertahanan Filipina, kemudian ruang lari ke belakang lini terbuka bagi pemain depan Timnas (lihat Ricky juga di sini)
Karena aku baru pulang dari mall dan melewatkan gol pertama, aku merasa bahwa skema throw-in Timnas terlalu sering dilakukan; butuh variasi lain yang bisa membuyarkan fokus lawan. Filipina menaruh 10 pemain di kotak penalti; 7 pemain untuk menghalau pemain terdepan dan 3 pemain untuk menghindari rebound yang bisa saja diambil pemain Timnas.
Namun, di sisi lain, ada beberapa hal yang mampu untuk menggoyahkan pendirianku mengenai skema ini. Pertama, Timnas melakukan throw in untuk
Klok adalah gelandang pivot terbaik yang Indonesia punyai dalam beberapa tahun terakhir. Sangat hebat dalam reading the game, dibarengi dengan work-rate tingkat dewa. Asnawi kehilangan bola dan Klok harus menjaga dua pemain Filipina. Ia berhasil memperlambat transisi dari Filipina dan membuat Timnas berhasil kembali ke strukturnya.
Aku merasa bahwa pemain Timnas telah mempunyai insting yang cukup baik dalam membaca permainan. Beberapa kali koneksi antar pemain dijalankan, yang puncaknya berada di gol Marselino. Lihat Saddil yang sejenak melihat ke sisi kiri, menyadari ruang kosong yang akan dieksploitasi oleh Marsel. Cerdas!
Kemarin aku sempat mengobrol dengan temanku mengenai kesalahan Timnas pada pertandingan kemarin. Ujarnya, mereka kehilangan intensitas di akhir babak pertama, yang kemudian semapt terlihat juga di babak kedua. Timnas lakukan rotasi di sisi kanan lapangan, dengan Saddil yang tarik sisi kiri pertahanan Filipina dan Ricky masuk ke ruang sayap untuk berkombinasi dengannya. Kombinasi yang dilakukan oleh Ricky, sayangnya, malah dikasih ke Fachruddin. Switch yang dilakukan oleh Fachruddin juga tidak matang, menyebabkan hilang bola bagi Timnas.
Namun, ada kalanya juga di mana Timnas melakukan suatu hal dengan baik. Situasi 4v3 terjadi lewat sayap, Klok manfaatkan titik buta. Bola langsung di-switch ke kiri, dan Arhan berhasil menemukan Witan yang berlari ke belakang lini.
Jika dilihat kembali, kita akan menyadari bahwa Ridho lebih proaktif untuk menjadikan dirinya sebagai opsi umpan. Ia maju untuk menerima umpan dari Klok, yang membuat tempo permainan Timnas terjaga.
Longball FC berjalan dengan cukup baik, karena ada dua pemain yang siap menerima bola muntah. Situasi 4v5 juga bisa dinetralisir dengan pergerakan konstan Egy, Marsel, dan Dendy — apresiasi pada Dendy dengan workrate-nya yang sangat konsisten. Pantulan bola dari Dendy menuju Marsel berujung pada counter attack Timnas. Namun aku tidak tahu Marsel melakukan crossing ke mana: bolanya terlalu rendah untuk disundul oleh Egy dan terlalu mengarah ke lawan untuk diterima oleh Dendy.
Ada dua sisi dalam buang-buang peluang. Pertama, pemain kita jelek dalam melakukan finishing, dan kedua, kita menjadi lebih proaktif dalam menciptakan kesempatan. Keduanya menurutku sama valid-nya. Salah satu contohnya adalah Egy yang lebih baik dalam melakukan pergerakan tanpa bola.
Kesimpulan besarnya adalah: kita lebih banyak menciptakan peluang, namun masih jelek dalam finishing. Aku mengerti mengapa STY marah setelah pertandingan ini.
Aku akan terus membahas tentang Egy. Apakah ia jelek, atau sebaliknya penting bagi Timnas? Aku tidak tahu, jujur. Dia telah sangat berkembang pada beberapa aspek, namun masih melakukan kesalahan yang sayangnya berada pada momen yang agak fatal. Ia mungkin akan menjadi Harry Maguire-nya Indonesia, disalahkan atas hal-hal sekecil apapun karena suporter kita gatal untuk mencari kambing hitam.
Entahlah. Mungkin, kedua pemain tersebut adalah korban ekspektasi: Maguire dengan bandrol harganya, Egy dengan label Eropa. Kedua hal tersebut memicu harapan yang engga-engga bagi mereka, dan mengaburkan persepsi kita terhadap apa yang diberi di lapangan. Namun, kehebatan suporter — yang membuatnya cocok jadi bahan analisis seorang psikolog sosial — adalah bersikap subjektif, bukan? Para staf dan pemain juga tidak akan peduli karena ada hal yang jauh lebih penting di depan mata mereka.
Kemudian, obrolanku di warkop dengan Bang Luthfy dan Fyan berpusat pada decision making dari Ricky. Apakah Ricky 100% egois pada momen itu? Kami punya beberapa perspektif. Pertama, lari ke belakang lini dari Spaso Kedua, kemampuan 1v1 dari Bek Filipina; ia menjaga Ricky layaknya Virgil van Dijk, melakukan kuda-kuda, mempertahankan posisinya, dan kemudian mengarahkan Ricky pada arah yang mempermudahnya untuk merebut bola. Aku sempat marah-marah tidak jelas di Twitter dan kemudian memang menyadari bahwa kelemahan Ricky adalah kebiasaanya untuk terlalu terfokus ke arah bola.
Syahrul Trisna. Kiper yang pendek akan ditakdirkan untuk mengompensasi tingginya dengan gaya bermain akrobatik dan pergerakan kaki yang cepat. Pada penyelamatan ini, Syahrul dengan cepat bergeser ke tiang kanan, dan sudah siap untuk menghadapi tendangan dari pemain Filipina.
Tinggi badan tersebut, sayangnya, mengkhianati dirinya pada menit ke-82. Badan yang pendek membuat raihan tangannya tidak mampu mencapai bola hasil sundulan Rasmussen, dan Filipina mengejar ketertinggalan. Dan ya, Rizky Ridho lemah di bola-bola atas — ia bagus dalam meloncat tapi kali ini tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan.
Pergantian pemain yang STY lakukan patut untuk aku apresiasi. Cuma pergantian agar kita lebih bertahan, namun masuknya Yakob dan Rian membuat kita mampu menguasai lini tengah dan sayap dengan sama baiknya; Rian untuk pressing, Yakob karena dia dinamis tutup ruang tengah dan sayap.
Yakob menunjukkan bahwa dirinya layak disematkan sebagai pemain terbaik Timnas hingga saat ini. Kehadirannya mampu untuk memberikan solusi bagi mereka, baik dari melakukan cover sayap dan lini tengah hingga merangsek ke tengah lapangan ketika sayap sedang melebar. Pemain serba bisa.
Apresiasi aku berikan pada Filipina yang sangat tangguh dalam menghadapi duel 1v1. Mereka mampu untuk menahan pemain kami yang cukup beringas dalam melakukan satu lawan satu, sering membuat mereka kehilangan bola.
Terutama si pemain botak itu. Aku lupa namanya — aku googling ternyata namanya adalah Stefan Schrock. Mari kita panggil dia Sofyan Amrabat-nya Filipina. Because why not? Press-nya sering kali mengusik ketenangan pemain Timnas ketika mereka menerima bola.
Apa yang terlihat di mataku bisa saja berbeda di mata kalian. Ricky yang egois terlihat seperti situasi 2v1 yang penuh dengan banyak variabel di mataku. Egy yang jelek terlihat seperti pisau bermata dua di mataku. Gol dari situasi set-piece terlihat seperti suatu hal yang tidak bisa dipertahankan secara jangka panjang di mataku. Pendeknya Syahrul yang membuatnya cepat dalam bergerak akan mengkhianatinya dalam bola-bola atas.
Di luar mata kita, mata yang paling berhak untuk menilai performa Timnas adalah analisnya sendiri. Mata mereka sudah terlatih untuk menggunakan perspektifnya mengenai pertandingan tersebut dan mengimplementasikannya pada latihan yang akan dijalankan pada hari selanjutnya. Kita memang mempunyai perspektif yang berbeda — dan terkadang sama — terhadap sebuah pertandingan, namun pada akhirnya hanya orang-orang tertentu yang dapat menerapkan perspektif tersebut pada sang pemain.