Apakah waktu luang sudah menjadi sebuah tugas?
Jika waktu luang adalah sebuah kegiatan dimana seseorang dapat mengistirahatkan otaknya setelah rentetan pekerjaan yang membuat dirinya terikat, bagaimana jika kita terlalu banyak diberi waktu sehingga kita menganggap waktu luang sendiri itu adalah sesuatu yang mengikat?
Manusia paling tidak suka ketidakpastian. Mereka melihat waktu ke belakang, ke depan, bergerak seperti ada yang menuntun mereka, seperti anak yang dibawa ibunya berjalan menyusuri kota. Perilaku manusia pada hakikatnya bertumpu pada tujuan, terutama orang dengan kisaran umur dewasa awal yang sedang berada dalam transisi dari yang dituntun oleh nilai-nilai lingkungan sekitarnya menuju kemerdekaan diri secara finansial, jiwa, dan raga. Pra-pandemi COVID-19, kebanyakan dari kita sudah terbiasa dengan tatanan dunia. Ada yang kerja 9–5, kuliah, bertani, dan lain-lain. Stabilitas waktu ini melelahkan, namun memberikan kita persepsi tentang “pastinya” hidup ini. Kita berusaha melakukan sesuatu, dan menyisakan waktu “hadiah”, waktu luang untuk menghilangkan tensi dari tubuh kita selayaknya sebuah telepon genggam dicas. Waktu ini bisa kita lakukan karena kita sudah terbebas dari sebuah “keharusan”. Hanya aku, buku, video, dan teman-temanku. Datang pandemi COVID-19. Kita dijanjikan dengan waktu luang yang banyak, dan pekerjaan yang semakin longgar. Pertukaran yang menghasilkan untung?
Tidak juga.
Stabilitas waktu mulai terganggu. Kerja kantoran, kuliah, sekolah, dan lain-lain mulai pindah ke rumah. Yang dulunya belajar (atau ngorok di kelas), istirahat, belajar lagi, pulang, pergi bersama kawan ke PVJ sekarang berubah menjadi di rumah terus menerus, tanpa tahu harus melakukan apa. Waktu yang terjadwal telah memberikan kita pelajaran untuk menahan gratifikasi dan merasakan manfaatnya, dan sekarang kita ditaruh dalam situasi dimana berbagai macam hal di rumah kita adalah gratifikasi. Jika kita menelaah teori learning, gratifikasi biasanya merupakan akhir dari suatu perilaku yang kita lakukan. Menahan malasnya belajar selama 6 bulan, dibayar dengan tiket pesawat menuju tempat liburan. Usaha keras ketika kuliah dapat dibayar dengan segelas boba yang manis. Kita sudah mempelajari hal ini selama kurang lebih 12,5 tahun (untuk mahasiswa tahun ketiga). Pandemi datang, dan kita dihadapkan dengan sebuah berbagai macam gratifikasi di rumah. Kesempatan untuk melakukan hal yang menyenangkan semakin banyak – dan juga untuk menyelinap keluar dari kerangkeng sebuah “keharusan”. Otak kita, sayangnya, masih merindukan stabilitas, dan yang lebih parah lagi, kita juga berada pada usia dimana semuanya merupakan balapan. Gratifikasi yang pada awalnya merupakan reward, berubah menjadi behavior, atau yang lebih tepatnya, gratifikasi tersebut selama ini adalah behavior yang memakai topeng reward. Secara natural, manusia bukan merupakan makhluk yang mampu menahan gratifikasi dengan baik secara sendiri, dan pandemi akhirnya membuka tirai, mengungkapkan impuls serta hasrat ingin segera mencoba gratifikasi itu.
Manusia pada awalnya bukan merupakan makhluk yang rakus. Namun, mereka tumbuh dalam kepercayaan dan ilusi bahwa meraih kebahagiaan abadi adalah tujuan dari kehidupan ini. Uang mereka hamburkan untuk meraih kebahagiaan sementara, dan melupakan mereka dari perasaan dan ketidakpuasan yang tulus dari hati mereka. Balapan untuk menjadi sesuatu, dan mendapatkan sesuatu. Agar kita dapat meraih sesuatu, yang sejatinya hanya kita ciptakan dalam angan, dan apa yang angan kita ciptakan itu adalah fiksi paling meyakinkan di dunia ini. Kita hanya akan meraih, meraih, dan meraih lagi, tanpa pernah akan menggapai.
Suatu keunikan pada masa pandemi – dan sudah terjadi sebelumnya – adalah menggolongkan suatu kelompok sosial berdasarkan sesuatu yang mereka nikmati. Setiap strata sosial memiliki preferensinya masing-masing, dan preferensi ini merupakan suatu hal yang seringkali menjadi bahan ejekan, atau sesuatu yang dihindari oleh kelompok lain. Ada yang tidak menonton Squid Game karena tidak populer, ada yang mempermasalahkan fandom rival karena persepsi buruk mereka akan perilaku fandom tersebut, ada yang menciptakan satir kelompok ekonomi tertentu beserta preferensinya, dan juga ada orang seperti aku, yang kebingungan ingin mencari film serta buku yang tepat karena takut anggapan orang lain – aku juga tidak punya places where i belong, mind you. Kita berbalap-balapan bukan hanya dalam hal karier, namun juga waktu santai. Semakin banyak tekanan untuk memanfaatkan waktu yang kosong ini. Seakan kita mengejar suatu fantasi yang selama ini sebenarnya tidak pernah ada.
Semakin terlihat, mungkin, selama ini reward yang diidamkan oleh kita adalah validasi dan anggapan dari orang-orang sekitar. Keren karena menonton ini dan membaca itu, karena mengikuti tren, karena tidak mengikuti tren, karena membuat kritik atas masalah tren ini. Aku ingin sempurna, hidup seperti mereka. Jika kita terjemahkan dalam kamus pemikiran primitif kita, bunyinya mungkin akan terdengar seperti ini.
Aku ingin dicintai, tapi tidak tahu caranya bagaimana.
Mungkin hal ini yang menyebabkan kita, sebagai manusia, lupa akan esensi dari waktu luang itu sendiri. Waktu dimana setelah otak kita disibukkan dengan kaku dan terstrukturnya dunia ini, mereka melemaskan otot-otot neuronnya dan berjalan dalam dunia interpretasi mereka, tanpa memerdulikan anggapan orang lain. Dunia dimana emosi tulus dari diri kita mengalir dengan deras, konstan, dan alami. Hanya aku, diriku, dan berbagai macam media untuk memanjakan mesin otakku ini.