Irzi Ahmad R
4 min readDec 2, 2021

Air Mata yang Terkunci

Resiliensi — Sebuah Lanskap dari Keinginan, karya seni dari Manuel Mathieu. Semuanya terbentuk di dalam diri kita dan pada akhirnya mengubah kita.

Otak adalah organ yang canggih. Terdiri atas miliaran neuron-neuron yang menghantarkan impuls ke saraf-saraf yang terspesialisasi pada gerakan primitif, kompleks, maupun alamiah dari manusia, ia akan terus menerus berkembang, merekam, dan beradaptasi pada lingkungan di sekitarnya. Tersimpan juga dalam skala yang lebih kecil, gen-gen yang mengeluarkan asam sehingga kita memiliki berbagai macam variasi dalam beradaptasi dan memanipulasi segala hal yang ada di alam semesta ini. Berterima kasihlah pada ayah, ibu, kakek, nenek, dan nenek moyang kita karena telah turun temurun mewariskan pola-pola unik ini. Kompleksitas dari perilaku manusia disebabkan oleh tidak terbatasnya variabel yang memengaruhi perilaku itu sendiri; keluarga berada atau tidak berada, hidup di dataran tinggi atau rendah, tantangan yang dihadapi di hidup ini, pola perilaku yang diwariskan, kesiapan jasmani maupun rohani, serta banyak variabel lainnya yang tidak tersebut. Namun, bisa dilihat dari berbagai macam penelitian, observasi dengan mata telanjang, dan sedikit kemampuan untuk mencari pola yang sama diantara penjelasan-penjelasan psikologis yang terkadang tumpang tindih, kita dapat menjelaskan sedikit tentang kesamaan perilaku dari manusia. Kita beradaptasi dan mengatur kepastian serta ketidak pastian dari rangsangan alamiah yang diberikan oleh stimulus-stimulus di alam semesta ini*.

Menderita gangguan jiwa selama bertahun-tahun, yang diperburuk oleh rentetan kejadian traumatik, dan situasi yang tidak menguntungkan merupakan salah satu konsekuensi dari otak kita yang berusaha melindungi diri kita dari musibah yang kita, dan secara tidak langsung juga lingkungan sekitar kita alami. Musibah ini menyebabkan marabahaya yang membuat neuron-neuron di otak kita kewalahan. Jika tidak ditanggulangi secara tepat, otak ini akan semakin mengatur kepastian bahwa kita tidak akan bertemu rangsangan emosi yang membuat kita sengsara tersebut. Terjebaklah kita dalam siklus perlindungan diri yang menyebabkan perkembangan diri kita terhambat. Tertidur tak berdaya dalam tempat tidur, mengutuk dunia, menjauhi kasih sayang, dan berusaha berdalih untuk terus maju dengan badan yang sudah terluka berkali-kali. Dalam proses perlindungan dari bahaya tersebut, ada beberapa macam cara yang tidak sehat yang kita lakukan untuk menghilangkan rasa sakit dan mendapatkan kepuasan. Merokok, minum minuman keras, mengonsumsi narkoba, makan berkali-kali, berperilaku agresif, serta masturbasi. Ketika pertama dicoba, otak mendapatkan zat-zat yang memberikan kepuasan pada sistem otaknya, dan perasaan euforia akan dirasakan oleh seseorang yang mengonsumsinya. Perasaan senang ini direkam oleh otak kita dan otak memberikan sinyal agar zat-zat ini dapat diberikan lagi ke diri kita. Sekali lagi, otak mengatur kepastian dari reaksi psikologis dan fisiologis kita. Frekuensi kita dalam mencoba hal ini akan menjadi lebih tinggi, dikarenakan otak sudah terbiasa dengan efek dari zat-zat tersebut, dan pada akhirnya kita akan lebih merasa tergantung pada hal-hal itu serta merasa sangat kesulitan untuk lepas darinya.

Pulih dari siklus marabahaya ini merupakan tantangan yang besar untuk umat manusia. Memperkecil pengaruh musibah pada masa lalu terhadap pembentukan identitas kita adalah proses yang memerlukan kesabaran dan keteguhan yang luar biasa. Kadang kita ingin melangkah sangat cepat agar dapat mengejar ketertinggalan yang kita anggap terjadi di hidup kita. Namun, seperti luka yang harus dijahit, diberikan salep, dan ditunggu beberapa waktu hingga hilang rasa sakitnya, luka batin yang dibawa dari kecil dan diperdalam oleh rangkaian-rangkaian musibah – secara langsung maupun tidak langsung – membutuhkan waktunya sendiri untuk melebur dengan diri kita, menjadi sebuah bekas luka yang rasa sakitnya semakin menghilang. Perubahan biologis dan kimiawi di otak membutuhkan waktunya tersendiri, dan perjalanan ini tidak akan berjalan sesuai apa yang kita prediksi, karena apa yang kita prediksi sebelumnya adalah hasil dari pengaturan otak terhadap kepastian dari adanya bahaya di dunia ini. Hal-hal tidak terduga akan terjadi, karena otak akan beradaptasi terhadap ketidak pastian di dunia ini. Semakin kita dihadapkan terhadap ketidak pastian reaksi psikologis, semakin kita akan merasakan emosi yang sebelumnya belum atau sudah lama tidak kita rasakan; senang, sedih, takut, nyaman, damai, serta emosi lainnya. Perlindungan dari otak kita akan dikendurkan, dan kita lebih dapat menerima warna-warni dari stimulus yang ada di dunia ini.

Untuk orang-orang yang air matanya terkunci, hidup terjebak di dalam kandang, menatap dunia dalam lensa kepastian yang sangat mencekam, percayalah, akan ada masanya untuk bangkit. Perlahan-lahan berjinjit, berjalan, berlarilah. Jangan lupa untuk menghabiskan waktumu dalam istirahat yang cukup. Jika hidup dalam kemiskinan kasih sayang, maka izinkanlah penulis untuk menuliskan catatan penuh kasih sayang pada dirimu. Dunia ini keras; kita juga dapat berusaha untuk membuat kerasnya dunia ini bermanfaat bagi kita, dan tidak menghancurkan diri kita. Hal ini bukan hanya dalam kita beradaptasi pada dunia ini, namun juga untuk memanipulasi segala sesuatu dalam dunia ini untuk membuatnya lebih baik.

*Penulis sangat tertarik dengan hipotesis ini, dan mencoba untuk mengumpulkan bukti-bukti dari alam semesta ini untuk mengujinya.

No responses yet